by

Rahasia Ibu

Ibu selalu menyatakan ketidaksetujuannya setiap kali aku menyatakan ingin jadi tentara. Kurasa keren sekali kalau bisa mengenakan kostum loreng sambil menenteng senjata. Aku melonjak gembira saat outdoor learning di sekolah mengajak kami para murid mengunjungi markas TNI-AL.

Pagi itu aku bangun lebih awal saking semangatnya. Aku dan teman-temanku menaiki truk tentara. Dua orang tentara berpakaian dinas membantu kami naik. Aku merasa seolah digendong ayah. Aku pun memilih tempat duduk di dekat mulut truk agar bisa berdekatan dengan kedua tentara itu.

Setibanya di lokasi, aku dan semua temanku diajak masuk ke dalam sebuah ruangan yang cukup besar. Di sana, salah seorang tentara yang tampaknya paling sepuh memberikan beberapa nasihat pada kami. Kalau kami ingin jadi tentara, kami harus rajin belajar, dan semacamnya. Lima menit berlalu dan kami diajak menonton sebuah tayangan di layar proyektor. Sebuah video singkat yang mengisahkan serba-serbi TNI-AL.

Video itu mengingatkanku pada video rama tentang sejarah kapal selam di Indonesia yang pernah kutonton. Waktu itu aku diajak akung dan utiku jalan-jalan ke Monumen Kapal Selam di Surabaya. Saat kami masuk ke ruang pemutaran video rama dan fokus pada layar proyektor, Ibu lebih memilih berjalan-jalan di tepi sungai Kalimas. Memperhatikan entah apa.

Beberapa menit berlalu dan pertunjukan video rama selesai. Kemudian, kami menuju ke arah kapal selam asli buatan Uni Soviet, KRI Pasopati 410 yang menjadi kapal selam pertama di Angkatan Laut. Namun, ibu menolak masuk ke dalam kapal selam. Dia hanya memandang benda lonjong panjang itu dengan raut penuh ketakutan.

“Ayo masuk, Bu.” Aku menyeret lengannya menuju pintu masuk kapal selam.

Baca Juga  Memories

Ibu menggeleng. “Ibu tunggu sini saja.”

Kuperhatikan tatapannya selalu menghindar dari kapal selam berwarna hitam yang berdiri kokoh itu.

“Masuk lah, masak udah jauh-jauh ke sini nunggu di luar aja.” Akung dan uti ikut membujuk Ibu untuk masuk.

Ibu tampak ragu, tapi kami bertiga terus memaksa hingga akhirnya dia terpaksa menuruti keinginan kami. Ibu masuk ke dalam kapal selam dan mempercepat langkahnya. Saat tiba di bagian tempat tidur yang memajang foto-foto para tentara, Ibu berhenti dan menelisik ke sekeliling. Kulihat matanya berkaca-kaca. Ibu mendongak dan mengusap sudut matanya dengan jari. Lalu, Ibu bergegas menuju pintu keluar.

Tak seperti Ibu yang terburu-buru, aku mencatat baik-baik setiap bagian dalam kapal selam. Aku membayangkan hari-hari yang membanggakan di dalam kapal selam itu. Ada toilet, dapur mini, dan ranjang seukuran orang dewasa yang bertingkat di sisi kanan dan kiri jalan. Sementara kamar khusus kapten berisi ranjang dan sebuah lemari pakaian. Aku bisa melihat kepadatan jalan raya ibu kota melalui lensa periskop kapal.

Sebuah tepukan kecil di bahu menyadarkanku dari lamunan. Video di layar proyektor telah selesai diputar. Kali ini kami keluar ruangan dan menaiki sebuah Unimog menuju tempat latihan menembak. Terdapat sebuah terop yang di bawahnya ada beberapa perahu karet, helm keselamatan, dan berbagai jenis senapan yang tentunya tidak berisi peluru.

Aku meminta tolong seorang sniper, untuk mengajariku cara membidik melalui lensa senapan laras panjang yang menjangkau hingga jarak jauh. Aku mengambil posisi tengkurap dan mulai menyipitkan mata untuk melihat ke dalam lensa.

Cita-citaku ingin menjadi tentara bermula saat aku memandang foto ayah yang berseragam loreng hijau, cokelat, hitam di pigura berbingkai emas. Aku sangat ingin mengikuti jejak ayah. Ayah tersenyum bahagia di foto itu. Namun, tak berapa lama setelah aku mengatakan kalau aku ingin menjadi tentara, ibu langsung menurunkan foto yang tergantung di dinding ruang tamu itu.

Baca Juga  Stay Still and Stay Still Dream

Foto-foto ayah dengan baju seragam tentaranya tak pernah kujumpai lagi setelah itu, bahkan di dalam album foto sekalipun. Entah mengapa Ibu tak suka aku menjadi tentara. Katanya, aku boleh memilih cita-cita baik lainnya asal bukan tentara.

**
Saat hari itu aku mendengarnya mengutarakan cita-citanya yang ingin menjadi tentara, kupikir itu hanya ceplosan khas kanak-kanak. Namun, keinginan untuk menjadi TNI-AL ternyata sudah merasuk ke dalam batinnya. Dia ingin meneruskan jejak ayahnya dan begitu antusias dengan berbagai hal yang berbau tentara. Mulai dari mainan truk tentara dan perlengkapan ala prajurit sampai setelan baju loreng.

Saat duduk di bangku SD, dia banyak melahap buku-buku ensiklopedia transportasi perang hingga sejarah tentara yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah. Kurasa, dia benar-benar tertarik menjadi tentara, tapi mungkin saja cita-citanya berubah suatu saat nanti, kan?

Meski begitu, aku tak ingin dia semakin larut dalam keinginannya tersebut. Jadi, kusimpan saja semua foto ayahnya yang berpakaian dinas. Mungkin sebenarnya hal itu kulakukan untuk menutupi nyeri, yang masih merambati ulu hati setiap kali melihat sosok suamiku.

“Lupakan cita-citamu menjadi tentara,” ucapku ketus saat dia begitu antusias menceritakan pengalamannya sepulang dari markas TNI-AL. Hatiku seperti disayat sembilu setiap kali mendengarnya mengatakan betapa dia ingin menjadi tentara.

“Kenapa Ibu benci sekali pada tentara?” Retinanya jatuh tepat di manik mataku. Bola mata cokelat putraku mengingatkanku pada sosoknya. Mereka berdua benar-benar mirip. Aku memalingkan wajah, berusaha menutupi perasaan yang kembali terkoyak.

“Ibu tidak benci pada tentara. Ibu hanya tidak mau kau menjadi tentara,” sungutku.

“Tapi kenapa, Bu?” kejarnya.

“Ada banyak pekerjaan baik di dunia ini, kenapa harus tentara?” Aku balik bertanya.

Baca Juga  Cerpen: Awalazam

“Karena aku ingin menjadi seperti ayah.” Matanya tampak berbinar-binar.

Aku spontan menggeleng kuat-kuat. “Tidak, kau tak boleh menjadi seperti ayahmu.” Kutelan kalimat itu di dalam batinku.
Aku membalikkan badan dan menghilang di balik pintu kamar. Mataku meleleh. Terlempar pada masa di mana suamiku hendak berangkat kerja. Anakku yang saat itu belum genap dua tahun menahannya pergi.

“Ayah di lumah ja,” ucapnya sembari mendorong tubuh suamiku masuk kamar. Kami berdua tertawa geli melihat tingkah polosnya. Mengira dia masih ingin mengajak ayahnya bermain.

“Ayah mau kerja ini, gimana….” seloroh suamiku berusaha keluar kamar.

“Ndak boyeh.” Anakku terus menghalangi ayahnya.

“Nanti main lagi, ya, sama Ayah kalau Ayah sudah pulang kerja,” bujuk suamiku.

“Iya, sekarang Adik main dulu sama Ibu, yuk.” Aku pun membantu suamiku mengamankan anak kami agar dia bisa keluar.
Kalau saja aku tahu, aku akan membantu anakku menahan suamiku untuk tidak pergi bekerja.

Latihan operasi laut gabungan itu berakhir dengan hilangnya kontak dari KRI Nanggala 402. Enam hari setelahnya, kapal selam dinyatakan tenggelam dan puluhan krunya dikabarkan meninggal dunia.

Berita tentang status kapal yang berubah menjadi On Eternal Patrol, dalam patrol abadi, membuat dadaku seolah ditusuk-tusuk ribuan jarum. Kupegangi perutku yang membuncit seperti tengah dicengkeram kuat-kuat. Lalu, kurasakan darah mengucur dari sela-sela kakiku. []

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *