Kekuatan puisi terdapat pada diksi atau pilihan kata yang digunakan oleh penyair. Jika kata tidak menjadi racikan yang puitis, tentu mutu dari puisi yang dibuat tidak akan bagus. Masyarakat pembaca pun enggan untuk membaca apalagi menafsirkannya. Oleh sebab itu, seorang penyair harus mengetahui kategori diksi dalam puisi karena jenis kata inilah yang menjadi prasyarat kualitas karya.
Memang, untuk menghasilkan sebuah puisi, penyair tidak perlu memilah kata. Tulis saja diksi-diksi yang diinginkannya yang kebetulan muncul di dalam otak. Akan tetapi, ketika sudah tiba pada proses pengendapan, maka hendaknya diksi-diksi tersebut harus dibaca ulang. Nah, di sinilah seorang penyair bisa memasukkan beberapa variasi kata sesuai kategori yang ada.
Untuk mengetahui kategori diksi seperti apa yang sering dipakai penyair ketika membuat puisi, maka silakan baca artikel ini. Ulasannya sangat lengkap serta diulas dengan teknik penulisan yang mudah dicerna. Ini dia ulasan selengkapnya:
1. Diksi Natural
Pernah membaca puisi yang di dalamnya berisi kata-kata yang berhubungan dengan alam? Inilah yang disebut dengan istilah diksi natural. Umumnya, penyair lebih suka menggunakan diksi ini karena dari segi objek-nya saja telah mewakili sebuah keindahan (puitica). Seperti kata purnama, bulan, bunga, laut, seroja, pantai, matahari, cahaya dan selainnya.
Puisi yang kental dengan kategori diksi natural, biasanya dibuat oleh penyair yang baru menulis puisi. Mereka mencoba mewakilkan makna dengan memunculkan kata yang sekiranya pembaca tidak terlalu bingung ketika melakukan penafsiran. Penyair gres semacam ini juga bersikukuh kalau puisi yang baik adalah puisi yang mudah dicerna oleh pembaca.
Akan tetapi, kalau dinilai dari segi racikan, penggunaan diksi natural yang dominan di dalam puisi justru membuat puisi itu monoton. Bahkan, ada beberapa kritikus yang menyebut sastra dengan domain kata semacam ini tak lebih hanya sekadar “surat cinta” saja.
2. Diksi Emosi
Kategori diksi dalam puisi yang juga sering digunakan penyair adalah diksi emosi. Diksi-diksi ini dipakai untuk melahirkan kepekaan rasa pembaca terhadap puisi yang dibacanya. Tidak tertutup kemungkinan, penyair juga berharap pembaca bisa menangis ketika membaca puisi yang dibuatnya.
Diksi emosi sendiri merupakan sekumpulan kata yang identik dengan perasaan. Atau racikan kata yang mewakili suasana hati yang apabila ditafsirkan, tidak akan keluar dari perasaan sedih atau gembira. Kata-kata yang termasuk ke dalam diksi emosi di antaranya adalah mendung, air mata, tangis, darah, pusara, nisan, pilu, kamboja, luka, sembilu, senja, gerhana dan banyak lagi yang lainnya.
Seorang penyair sering memasukkan diksi emosi ke dalam puisi untuk melahirkan simpati dan empati pembaca. Dari sini juga, Anda bisa menilai apakah tema-tema yang dimasukkan ke dalam karya dominan terkait rasa bahagia atau sebaliknya. Sekalipun demikian, seorang penyair harus tetap memilah diksi emosi supaya kesan pembaca terhadap puisi tidak terlalu dramatisir.
3. Diksi Diftong
Diksi Diftong ialah diksi atau pilihan kata yang di dalamnya berisi kata-kata yang diakhiri dengan dua huruf vokal yang dibaca satu bunyi saja. Misal kata (surau). Ini merupakan diftong karena dua huruf terakhirnya adalah huruf vokal dan dibaca satu suara yaitu (rau), bukan (ra) dan (u).
Kata yang termasuk ke dalam kategori ini ialah, surau, igau, parau, lampau, kicau, inau, enau, petai, andai, gulai, balai dan galau. Sedangkan “dia” dan “pria”, tidak bisa disebut diftong karena sekalipun dua huruf terakhirnya adalah huruf vokal, tetapi bacaannya tetap dua suara yaitu (di) dan (a) atau (pri) dan (a).
Diksi semacam ini yang paling sering digunakan oleh penyair ketika menulis puisi. Selain untuk memunculkan makna, diksi diftong juga mendukung kualitas dari irama verbatim atau irama pengucapannya. Seperti contoh “Aku risau melihat bintang di hatimu yang semakin galau”. Ada sebuah keindahan kata-kata kalau diksi ini dipakai di dalam puisi.
4. Diksi Warna
Kategori diksi dalam puisi yang berikutnya adalah diksi warna (color). Sekalipun tidak semua penyair suka memasukkan diksi ini ke dalam puisi, tetapi hampir bisa dipastikan satu dua kata, pasti muncul di dalam karya. Artinya, kategori diksi warna hanya dijadikan pemanis saja, namun tetap ada esensi pintu tafsir yang bisa diambil darinya oleh pembaca.
Coba cermati selarik puisi ini, “Mengapa ombak hatimu masih merah kawan, Apakah karna tak lagi mengetuk langit”? Nah, diksi “merah” pada puisi di samping sejatinya untuk menunjukkan suasana hati. Dan jika dibaca secara keseluruhan, sepertinya “merah” ini ingin menyatakan suasana hati yang tidak baik atau tidak bagus.
Ketika Anda mencoba membuka pintu tafsir di atas, maka ada satu hasil tafsiran yang bisa digunakan yaitu, puisi di atas ingin mengatakan kalau si penyair atau objek yang ditunjuk penyair memiliki tipikal hati yang buruk karena sudah tidak lagi berdoa kepada Allah. Nah, jika diksi warna menjadi momentum menemukan tafsir puisi, tentu wajar kalau ada satu dua penyair yang memasukkannya ke dalam karya.
Perlukah Memikirkan Kategori Diksi untuk Menulis Puisi?
Kalau Anda ingin menulis puisi, tetapi diawali dengan proses berpikir dalam rangka menemukan kategori diksi yang harus dipakai, tentu ini akan sangat menyulitkan. Silakan langsung buat saja dan gunakan diksi yang memang dimunculkan di dalam benak.
Setelah itu, lakukan pengendapan untuk menilai apakah diksi yang digunakan sudah mewakili makna, tafsir dan estetika dalam puisi atau tidak. Jika sudah, silakan Anda baca kembali pasti kategori diksi dalam puisi yang sudah dijelaskan di atas, ada di dalam puisi yang telah Anda buat. Jadi, menulislah dan jangan berpikir apa yang hendak ditulis!
Comment