Deretan nisan berwarna abu-abu gelap membentang rapi di atas hamparan tanah yang menghijau dan basah setiap pagi, membeberkan sekelumit sejarah tentang mereka yang pernah ada. Mereka yang telah pergi. Mereka yang menyisakan sejuta kenangan dan meninggalkan senyum atau tangisan.
Ada yang menggelitik sanubariku. Wanita itu. Ia datang lagi. Sendirian. Selalu begitu. Padahal ia telah begitu payah untuk sekadar memindahkan kaki dari belakang ke depan agar bisa melangkah maju. Namun, wanita itu tak pernah mau kubantu selain naik turun kereta makam. Seorang nenek yang angkuh.
Ada yang lebih aneh dari keangkuhannya. Ia selalu membawa delapan kuntum mawar untuk ditancapkan di sekeliling batu nisan, juga potongan makanan atau buah-buahan yang jumlahnya ada delapan. Semua itu akan ia tinggalkan dalam keadaan tergigit sebagian. Benar-benar merepotkan.
Memunguti sampah di area pemakaman bukanlah bagian dari tugasku, tetapi wanita “gila” itu membuatku harus melakukannya atau manajer akan memotong gajiku. Mereka juga jengkel dengan tingkah sang nenek. Padahal, tugas utamaku hanya mengantar dan menjemput para pengunjung makam saja.
Kurasa ini adalah hari sialku, di mana seharusnya aku bisa berlibur bersama Sophie, tapi tak satu pun rekan yang mau bertukar jam kerja. “Jangan di penghujung minggu,” kata mereka.
Tentu saja, bekerja di akhir minggu hanyalah kesenangan bagi orang-orang kesepiannya macam wanita tua itu, bukan bagi kami yang masih muda dan punya sejuta cara untuk bahagia.
Kalau saja wanita itu tak menutup mulutku—dan mulut-mulut rekanku saat aku berhasil menukar shift—dengan selembar dolar dengan nilai mengejutkan, tentu sudah kuhardik ia pergi, sebab siapa sudi membersihkan sampah konyol yang sengaja dihabiskan sebagai bentuk penghamburan uang?
Sebentar. Wanita itu melambaikan tangan. Apa yang ia inginkan? Tatapannya tertuju padaku, ya, tentu saja aku, sebab tak ada lagi manusia di blok ini. Terpaksa kuangkat bokong dan kuturunkan kaki sambil mencabut kunci kereta mini, hasil modifikasi minibus yang panjangnya lebih satu seat dari kereta golf.
“Ya, Nyonya. Bisa saya bantu?” tanyaku berusaha ramah.
“Tidak ada. Duduklah bersamaku, Anak Muda.”
Sesuatu yang ganjil. Ini kali pertama ia memanusiakan pekerja makam. Biasanya ia punya dunia sendiri. Tidak, maksudku berdua, dengan batu nisan yang selalu ia beri makan.
“Dengan senang hati, Nyonya,” sahutku sambil berjalan mendekat. Semoga saja ia memberikan tip lagi untuk hal ini.
Aku melihat delapan kuntum mawar sudah tertancap di sekeliling nisan. Juga delapan wadah kecil berisi kue, puding, buah-buahan, juga makanan lain. Semuanya tidak ada yang utuh. Percuma juga kutanyakan, sebab baru saja kulakukan dan ia hanya akan menjawabnya dengan senyuman.
“Perkenalkan. Namaku Margareth, dan ini Anthony, belahan jiwaku, dia juga teman semasa kecilku dulu,” katanya ramah. Kontras dengan kedatangannya di hari-hari sebelumnya. Tangannya menepuk-nepuk bagian atas batu yang berbentuk batangan.
“Aku Richard Harris. Kau bisa memanggilku Richard.”
Melihat senyuman di wajahnya, kekesalanku padanya luntur tak tersisa.
Nyonya Margareth lantas menoleh ke arah nisan dan mengusap serta menciumi papan nama “Anthony”. Ketika ia hendak kembali menoleh ke arahku, topinya tersangkut ujung papan nama.
“Kau masih saja nakal, Sayang,” ujarnya sambil tertawa geli ketika topinya terjatuh. Ia menatap batu itu dengan senyuman penuh cinta.
Aku merasakan sebuah energi yang begitu kuat. Sulit untuk tidak tersenyum melihat tingkahnya.
“Baiklah, Richard. Kau mungkin tahu, sudah delapan bulan aku mengunjungi makam ini dan melakukan hal yang sama di setiap minggunya,” Nyonya Margareth angkat bicara.
Aku mengangguk. “Lalu?” tanyaku.
“Cintalah yang membuat aku tak jemu melakukannya.”
Aku termangu. Wajahnya begitu tulus saat mengucap kata “cinta”.
Nyonya Margaret terus bercerita. Matanya selalu berbinar ketika menyebut nama Anthony. Ia mengisahkan bahwa Anthony menyukai angka delapan sebagai simbol dari rezeki yang tak pernah terputus. Itulah sebabnya ia selalu menyediakan delapan jenis hidangan di meja makan, juga delapan kuntum bunga sebagai tanda cinta.
Seumur hidup Anthony, Nyonya Margareth tidak pernah membantahnya. Ia selalu setuju dan mendukung semua kegiatan pria yang menikahinya di usia empat puluh lima, sekitar tiga puluh tahun lalu. Satu kenyataan yang ingin kujumpai dalam diri Shopie. Namun, sepertinya sulit.
Kata Nyonya Margareth, jika ia sedang mengomel, maka Anthony akan mencium dan memeluknya hingga ia berhenti bicara. Sebaliknya, jika Anthony sedang pusing akibat tekanan pekerjaan, maka ia akan memeluk dan menciumnya tanpa bicara.
Hebat sekali, mereka hampir tidak pernah bertengkar selama tiga puluh tahun hidup bersama berkat penerapan sikap “tutup mulut” yang digunakan pada saat yang tepat. Menurutku mereka berdua adalah sosok yang hebat. Kurasa Shopie tak akan sanggup menjadi seperti Nyonya Margareth, dan aku …, entahlah.
“Kau tahu? Anthony selalu memanjakanku dengan kekayaannya yang semakin melimpah semenjak aku ada di dalam hidupnya,” lanjutnya.
Sungguh getaran cinta itu sampai kepadaku saat ia bicara. Rasanya membahagiakan.
“Memang cintamu begitu besar padanya, Nyonya. Aku bisa merasakannya. Tapi mengapa kalian tak menikah saja sejak dahulu? Katamu kalian berteman sejak kecil.”
“Tuhan punya rancangan yang terlalu rumit untuk dipahami,” jawabnya lembut.
“Andai kalian memulainya di usia remaja, tentu kau dan Anthony akan mempunyai lebih banyak lagi cerita cinta. Itu saja pemahamanku.”
“Belum tentu. Buktinya rasa cinta di antara kami baru hadir setelah kami sama-sama menemui kegagalan. Andai kami dipersatukan sejak dulu, mungkin aku tak akan punya cerita cinta semanis ini. Mungkin juga ia menjadi orang yang kutinggalkan untuk mencari cinta sejatiku.”
Aku mencoba mencerna makna dari ucapannya. Bahasanya sederhana, tetapi artinya sedalam palung laut. Cinta sejatinya ia temukan di usia yang tak lagi muda.
“Bagaimana aku bisa menemukan cinta sejatiku, Nyonya?” tanyaku iseng.
“Mudah saja, jika kau menemukan orang yang dengan segala kekurangan di tubuhnya tak membuatmu kehilangan rasa,” ucap wanita berambut perak itu.
“Itukah cinta sejati?” tanyaku.
“Belum, tetapi jika dia juga berlaku sama sepertimu, maka itulah cinta sejati.”
“Kekurangan fisik?” tanyaku.
Wanita itu mengangguk. Dia tampak begitu bijak.
Aku menyadari bahwa selama ini aku selalu memprotes bau ketiak Shopie yang menyengat. Kepalaku pusing dibuatnya jika dirinya lupa memakai deodoran. Dan Shopie hanya tertawa saja ketika ketiakku basah dan sedikit bau. Dia memang harus bisa memaklumi karena aku adalah seorang pekerja keras.
Nyonya Margaret menambahkan bahwa sesuatu yang tidak bisa diubah hanya membutuhkan sebuah pemakluman, dan Anthony memberikan itu padanya dengan limpahnya. Benarlah perkataannya, tetapi aku tidak bisa melakukannya. Mungkin belum. Mungkin juga Shopie bukanlah cinta sejatiku.
“Semoga aku segera menemukan cinta sejatiku sebelum usia empat puluh lima, Nyonya, sebab aku ingin lebih lama hidup bahagia dengan orang yang selalu aku cintai,” kataku.
Wanita itu terkekeh. Aku pun ikut tertawa.
“Satu pertanyaan lagi, Nyonya,” ujarku.
“Apa?”
“Mengapa kau selalu memberi makan batu nisan itu?”
“Anthony, maksudmu?” Ia menyanggah ucapanku. Terpaksa kuiyakan. Tak apa, demi membuatnya terus tersenyum.
“Dia tak pernah mati. Kami hanya terpisah oleh jarak. Itu saja. Satu kali kami akan bersatu lagi. Dan angka delapan akan menjadi simbol kebersamaan kami.”
Ah. Semoga panjang umur, Nyonya. Aku masih ingin mendengar ceritamu dan masih ingin bercerita lagi tentang kehidupanku.
*
Delapan hari berlalu. Pukul delapan pagi, ada upacara pemakaman di blok B. Nomor delapan delapan. Pikirku, mirip dengan angka kesukaan Anthony. Hmm, seharusnya kemarin Nyonya Margareth datang mengunjungi Anthony, tetapi hari ini tak tampak.
Keretaku sudah tiga kali putar balik menjemput para pelayat, tetapi seolah tak pernah habis. Tak ada yang bicara. Namun, setibanya di area, tangis mereka pecah menghantam bumi yang sedang merentangkan tangannya menyambut satu jasad lagi. Ini adalah upacara terlama dengan jumlah pelayat terbanyak selama aku bekerja di sini.
Sebentar. Bukankah itu Shopie? Mengapa ia juga di sana dan memeluk batu nisan itu? Pelukannya mirip Nyonya Margareth saat memeluk Anthony. Dia terperangah saat aku berdiri di sisinya. Aku lebih kaget lagi saat melihat nama di batu nisan itu. “Margareth”. Tidak. Mungkinkah ini Nyonya Margareth?
“Siapa yang meninggal?” tanyaku.
“Ibuku,” sahutnya dingin.
“Inikah Nyonya Margareth yang—”
“Benar. Dialah wanita gila yang sering kau ceritakan padaku.”
“Dengar, Shopie. Ibumu adalah wanita terbaik yang pernah kutemui. Mengapa kau tak bilang padaku bahwa dia ibumu?”
“Tak perlu. Berulang kali aku mengajakmu dan kau tak mau. Sekarang ibuku sudah mati.”
“Dia tidak mati, Shopie, kita hanya terpisahkan oleh jarak semata.”
“Tapi jarak juga yang membuatku menemukan cinta sejati.”
Sedetik kemudian seorang lelaki muda menggandeng mesra lengan Shopie. Mereka berlalu begitu saja tanpa mempedulikan teriakanku. Ah. Sial. Nyonya Margareth pasti telah mengatakan semuanya, saat aku berkali menggunjing dirimu. Maafkan aku.
California, 25 September 2022
Comment