Bertualang ke Perkampungan Baduy, Antara Sungai Liar dan Gadis-gadis Cantik
Pengalaman bermalam di rumah salah satu keluarga di perkampungan Baduy luar sangat menyenangkan. Kami terbangun di pagi hari dengan tubuh yang terasa segar sehabis beristirahat akibat terguncang-guncang di dalam angkot saat perjalanan ke kampung Baduy kemarin. Padahal kami tidur tanpa kasur di atas lantai rumah yang terbuat dari bambu.
Dengan ditemani sepiring ubi dan singkong rebus, kami mengobrol dengan bapak dan ibu pemilik rumah yang banyak menjelaskan tentang keadaan di kampung Baduy. Masyarakat Baduy sendiri terbagi menjadi dua, yaitu Baduy Dalam dan Baduy luar. Rumah tempat kami menginap terletak di Baduy luar.
Kami bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Sunda, yang bisa penulis pahami sedikit-sedikit. Denny dan Budi yang menjadi penerjemah jika ada yang tidak kami mengerti. Pemilik rumah juga memberitahu kami tentang kebiasaan dan adat-istiadat di kampung Baduy.
Warga Baduy terbiasa berjalan kaki ke mana-mana, bahkan sampai ke Jakarta. Adat mereka melarang untuk bepergian dengan menaiki kendaraan. Mereka juga pantang bersekolah, meminta-minta, menonton televisi, mendengarkan radio, menggunakan minyak tanah dan banyak pantangan lainnya.
Warga Baduy Dalam lebih teguh memegang adat dibandingkan dengan warga Baduy luar. Jika ada warga yang melanggar adat di Baduy Dalam, maka mereka akan dikeluarkan dan tinggal di Baduy luar. Itu sebabnya kami masih melihat ada warga Baduy luar yang mendengarkan radio ataupun merokok, yang merupakan pantangan.
Kami berjalan-jalan di sekitar rumah, menikmati pemandangan alam yang masih asri. Rumah-rumah penduduk terbuat dari bambu dengan atap rumbia. Bambu-bambu itu direkatkan dengan cara diikat menggunakan tambang hitam, karena menggunakan paku termasuk pantangan. Di sekitar rumah, warga menanam berbagai tanaman palawija dan sayur-sayuran.
Kami akan melanjutkan perjalanan menuju salah satu kampung di Baduy Dalam. Dari tiga kampung yang ada di sana yaitu, Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana, kami memilih Cibeo yang terdekat. Karena perjalanan penulis adalah untuk penelitian awal untuk menyusun skripsi tentang hukum keluarga adat, maka penulis harus mengunjungi warga Baduy Dalam, sebagai pemegang adat yang lebih teguh.
Dua warga Baduy luar menjadi penunjuk jalan kami untuk menuju ke Baduy Dalam. Mereka adalah Pak Sardi dan Pak Marda. Mereka memakai pakaian hitam-hitam dengan baju longgar dan celana selutut yang juga longgar. Usia mereka sekitar empat puluh dan lima puluh tahun. Mereka juga memakai ikat kepala batik dan menyelipkan sebilah golok di pinggang. Bukan apa-apa, golok itu akan mereka gunakan untuk memotong kayu atau memanen buah-buahan di hutan.
Sebenarnya kami agak khawatir, karena kedua warga Baduy itu hanya akan menemani kami sampai mereka tiba di ladang tempat mereka bercocok tanam. Mereka akan menunjukkan jalan selanjutnya dan tidak menemani kami lagi. Menurut perkiraan mereka, kami akan tiba di Cibeo sekitar pukul empat sore karena kami berangkat pada pukul satu siang.
Petualangan dimulai. Pak Sardi dan Pak Marda berjalan paling depan sementara penulis dan teman-teman mengikuti mereka. Seperti umumnya orang Baduy, kedua orang itu mempunyai bentuk kaki dengan telapak yang lebar karena setiap hari dipakai untuk berjalan kaki. Baru lima menit berjalan, kami sudah kewalahan mengikuti mereka. Penulis dan Inya malah sudah menyerah. Budi dan Denny memanggil kedua orang itu.
“Pak! Tong buru-buru. Iyeu aya awewe.”
(Jangan buru-buru. Ini ada perempuan)
“Leres, punten.”
(Iya, maaf)
Setelah meminta maaf mereka lalu memperlambat kecepatan berjalan kaki. Kami pun agak lega. Ternyata itu hanya sebentar, sesaat kemudian kecepatan berjalan mereka kembali seperti semula, malah lebih cepat. Kami minta mereka untuk memperlambat lagi tetapi kemudian mereka kembali lagi seperti semula. Budi kemudian mengusulkan,
“Udahlah, kelihatannya enggak ada gunanya kita minta mereka untuk jalan pelan-pelan. Mereka eenggak akan bisa! Mendingan kita ikutin aja, deh, apa mau mereka. Daripada nanti mereka marah dan kita ditinggal?”
Akhirnya kami pasrah dan berjalan tersaruk-saruk mengikuti mereka dengan napas tersengal-sengal. Di perjalanan mereka menawarkan kepada kami untuk memetikkan buah duku, yang saat itu sedang musim. Kami langsung setuju, apalagi perut sudah mulai lapar.
Pak Sardi mengajak kami menuju ke sebuah pohon duku yang ketika kami lihat ke atas, alamak tingginya. Kami berpikir pasti akan butuh waktu lama untuk ia naik ke atas pohon dan memetik buah duku. Pak Sardi mengambil seutas tambang lalu mengikatian tubuhnya ke pohon duku dengan tambang itu.
Setelah itu ia memanjat pohon duku dengan kecepatan yang luar biasa, memetik buah-buah duku lalu kembali meluncur ke bawah secepat kilat dan… tubuhnya mendarat dengan selamat di tanah dalam waktu sepersekian detik dengan posisi berdiri. Ia tertawa melihat kami yang menatapnya dengan takjub. Sungguh keahlian luar biasa dari seorang Baduy yang mengalahkan ilmu silat Wiro Sableng.
Kami melanjutkan perjalanan ke kampung Baduy Dalam sambil memakan buah duku yang manis dan segar. Sesaat kemudian Pak Sardi dan Pak Marda tiba di ladang mereka dan kami harus melanjutkan perjalanan sendiri. Inya yang merasa kelelahan akhirnya kembali ke rumah tempat kami menginap dengan diantar oleh Andi.
Perjalanan menjadi lebih santai karena kami tidak perlu mengikuti langkah-langkah lebar kedua orang itu. Ketika kami bertemu dengan sebuah kolam seperti empang dengan air yang jernih, Budi dan Denny memutuskan untuk berenang. penulis yang memang sudah capek berjalan menyambut baik niat mereka karena bisa beristirahat sebentar.
Rasanya baru sebentar mereka berenang, lalu datang seorang kakek-kakek yang dengan marahnya menyuruh mereka keluar dari kolam sambil mengacungkan jari telunjuk. Wajah Budi dan Denny langsung pucat ketika Kakek itu mengatakan bahwa kolam itu adalah tempat untuk memandikan mayat!
Di tengah perjalanan, Andi sudah bergabung lagi dengan kami setelah mengantarkan Inya. Ternyata ia berlari sepanjang jalan sehingga masih bisa menyusul kami. Jalan yang kami lalui semakin sulit. Mendaki, menurun, dan berliku-liku. Kami juga sudah kehilangan arah. Kami juga selalu bertanya kepada orang-orang yang berpapasan saat pulang dari ladang. Perkiraan Pak Sardi dan Pak Marda bahwa kami akan tiba di Cibeo pada pukul empat sore, rasanya jauh panggang dari api karena sudah lebih dari pukul empat dan kami masih berputar-putar tak tentu arah.
Jika kami bertanya kepada orang yang kami temui tentang arah jalan, jawaban mereka hanya, “Sudah dekat. Tinggal dua tanjakan lagi.” Ketika kami terus berjalan dan belum juga sampai, barulah kami sadar bahwa yang mereka maksud dua tanjakan lagi itu ternyata dua bukit lagi!
Sampai menjelang magrib kami belum juga bertemu dengan kampung Cibeo. Pemandangan indah dan asri di sepanjang jalan tidak lagi kami pedulikan karena sudah sangat capek. Kami benar-benar tersesat dan tak tahu harus mengambil jalan yang mana.
Kami berjalan di keremangan malam dengan mengandalkan cahaya bulan, bintang, dan kunang-kunang yang beterbangan. Tiba-tiba, Budi yang berjalan paling depan menghentikan langkah. Di depan kami ada sebuah sungai selebar kira-kira dua puluh meter tanpa jembatan. Karena gelap, kami juga tidak bisa memilih bagian sungai yang dangkal.
Tidak ada pilihan lain. Kami memutuskan untuk menyeberangi sungai dengan berjalan pelan-pelan sambil berpegangan tangan. Arus sungai sangat deras. Air yang tadinya sebatas pinggang ketika kami masuk, semakin ke tengah semakin dalam. penulis merasakan air yang sudah menyentuh leher. Kami berpegangan semakin erat, susah payah berusaha melawan arus. Ketika kaki penulis sedikit terpeleset karena menginjak batu dan pijakan penulis terlepas, penulis merasa mulai terseret arus dan itulah akhir hidup penulis.
Alhamdulillah pegangan penulis pada Denny dan Budi tidak terlepas dan mereka berhasil mencengkeram tangan penulis sehingga penulis tidak terbawa arus. Sungai itu berhasil kami seberangi dengan tubuh basah kuyup. Tas berisi pakaian bersih yang kami sandang di bahu juga basah kuyup.
Setelah menyeberangi sungai kami melihat cahaya pelita remang-remang dan terlihat seperti deretan atap rumah penduduk. Ketika kami mencoba mengetuk pintu salah satu rumah, penghuninya menyambut dengan ramah dan menyuruh kami masuk. Ternyata kami sudah sampai di kampung Cibeo.
Melihat keadaan kami yang basah kuyup, pemilik rumah menyuruh kami menghangatkan badan di depan perapian sederhana di rumah mereka. Mereka juga menyuguhi kami ubi bakar yang masih panas mengepul. Sungguh kenikmatan yang tak terbayangkan, duduk menghangatkan diri di depan perapian seperti dalam film-film di televisi sambil mengunyah ubi bakar yang manis.
Setelah badan terasa hangat, kami meluruskan badan di atas lantai bambu yang disusun tidak terlalu rapat sehingga udara dingin pegunungan Kendeng menyelusup ke dalam rumah. Pantaslah mereka mempunyai perapian karena hawa di sana semakin malam semakin dingin.
Kami tidur dengan cahaya dari pelita yang terbuat dari botol yang diisi dengan minyak goreng dengan sumbu kain, karena warga Baduy pantang memakai minyak tanah. Hawa dingin dengan cahaya redup ditambah dengan suara binatang-binatang malam membuat suasana menjadi sedikit horor.
Pagi harinya kami bermaksud untuk mandi. Jika di Baduy luar sudah ada kamar mandi dengan atap terbuka, maka di Cibeo semua orang mandi di sungai. Mereka tidak diperbolehkan memakai sabun dan pasta gigi. Herannya, kulit wanita Baduy terlihat licin, halus dan bersih. Mungkin karena air sungai di sana yang sangat jernih.
Sebuah pemandangan menarik yang tidak akan dilupakan oleh Budi, Denny, dan Andi adalah ketika melihat para wanita Baduy sedang duduk di bale-bale di depan rumah mereka. Sebagian gadis-gadis itu hanya memakai kain panjang tanpa penutup dada. Kami sangat terpesona melihatnya sampai tidak bisa berkomentar. Ketika Budi dan Denny mulai melirik-lirik ke arah mereka, Andi langsung memperingatkan,
“Hati-hati lo, jangan berani deketin cewek-cewek di sini. enggak lihat tuh, cowok-cowoknya semua bawa golok di pinggang?”
Budi dan Denny langsung meluruskan pandangan mereka, tidak mau mencari perkara di kampung orang. Salah-salah mereka nanti tidak bisa pulang.
Menjelang siang, kami berpamitan dengan pemilik rumah dan warga Baduy lain di sekitar rumah. Ketika kami akan berfoto bersama mereka, langsung ditolak dengan keras. Ternyata, mengambil foto juga merupakan pantangan. Ketika kami mengambil foto di sekitar rumah itu secara diam-diam, kami menjadi terkejut. Percaya atau tidak, setelah dicetak di Jakarta, foto-foto di Baduy Dalam tidak ada yang jadi. Semua hanya berbentuk lembaran hitam tanpa gambar.
Percaya atau tidak, ternyata melanggar pantangan selama berada di perkampungan Baduy Dalam benar-benar membawa akibat. Untung saja kami tidak melanggar pantangan-pantangan lainnya. Sungguh sebuah pengalaman unik yang kami dapat dari perjalanan ke kampung Baduy.
Comment