Berbagai desas-desus beredar tentang dosen paruh baya yang masih tampak menawan di usianya yang sudah senja itu. Ada yang bilang, kalau dosen berparas tampan dengan serabut-serabut halus jambang di sekitar pipi dan dagu itu patah hati parah, hingga memutuskan tidak menikah.
Pria itu hanya tinggal bertiga dengan pembantu dan kucing peliharaannya. Kabar burung lain mengatakan bahwa sang dosen pernah menikah tapi bercerai.
Tak ada yang tahu pasti kebenaran di balik gosip-gosip yang terkadang didengungkan di gazebo atau kantin kampus. Saat ditanya hal-hal yang berkenaan dengan privasinya, sang dosen selalu mengalihkan pembicaraan. Membahas topik lain, menjawab dengan lelucon atau terkadang bergaya sok misterius.
Dosen itu terlihat seperti lima tahun lebih tua dari para mahasiswa di usianya yang sudah menjelang kepala lima. Dia sering terlihat sedang bercengkerama hangat dengan para mahasiswanya di kantin, membaur layaknya sahabat.
Penampilannya yang stylish dan necis selalu menarik perhatian kaum hawa, mulai dari dosen perempuan yang masih single hingga para mahasiswi.
“Kenapa, ya, Pak Xylo lebih memilih nge-jomblo? Sayang banget, loh.”
“Iya, tampang kece dan bodi keren gitu. Mana asik banget lagi orangnya. Pasti banyak cewek yang kelepek-kelepek.”
“Nah, bener. Dijadikan istri kedua pun aku rela,” celetuk salah seorang mahasiswi yang disambut suara cekikikan kawan-kawannya.
Di antara sekian banyak mahasiswa, ada seorang pemuda berprestasi yang menjadi anak emasnya. Pemuda itu kerap tertangkap tengah berdiskusi serius tentang seabrek lomba yang diikutinya, mulai dari karya tulis ilmiah hingga program kewirausahaan. Terkadang Qeith sampai menginap di rumah Xylo untuk menggarap rencana lombanya.
Meskipun Qeith dikenal sebagai mahasiswa berprestasi di kampus, di dalam dirinya, Qeith merupakan sosok yang rapuh. Pemuda itu dibesarkan dalam definisi cinta yang salah: mencintai berarti menjaganya agar tidak terluka dan memenuhi seluruh kebutuhannya. Ibu Qeith terlalu memanjakannya. Sebaiknya, sang ayah justru keras mendidiknya.
Sejak kecil, Qeith hampir selalu mendapatkan apa yang diidamkan. Jika keinginannya tidak terpenuhi, Qeith kecil akan berteriak-teriak marah dan melempar barang-barang di sekitarnya. Sang ibu pun terpaksa memberikan semua yang diminta putranya. Pernah gara-gara tidak mendapatkan laptop yang diidamkan, Qeith mengurung diri di dalam kamar dan mogok makan. Kedua orang tuanya pun terlibat percekcokan.
“Tuh, lihat, gara-gara kamu manjain, hasilnya kayak gitu,” sungut ayah Qeith kesal.
“Ayah jangan terlalu keraslah sama dia.”
“Kamu yang jangan terlalu manjain Qeith, Bu.”
“Ibu nggak manjain, Yah. Ibu kasihan sama dia. Qeith emang butuh laptop itu buat ngerjain tugas sekolah.” Sang ibu tak mau disalahkan. Dia tak ingin Qeith merasakan kesusahan yang dialaminya saat kecil. Maka, dia melimpahi Qeith dengan rasa cinta yang berlebihan. Cinta yang kemudian justru membuat jiwanya rapuh dan menjerumuskannya pada kehancuran.
“Laptop yang diminta Qeith itu speknya bagus, mahal. Kalau emang buat ngerjain tugas sekolah, kan bisa pakai laptop yang biasa-biasa aja. Dia itu cuma pengen bisa lebih puas main game. Sejak kamu beliin dia HP, dia semakin nggak peduli sama tugas di rumah. Kerjaannya main game melulu.”
“Qeith itu kan fokus sekolah, jadi tugasnya cukup belajar. Ibu nggak mau dia kecapekan trus sakit.”
“Kalau semua tugas rumah kamu kerjain, dia bisa apa nantinya? Kita nggak bisa selalu ada untuk menyelesaikan semua masalahnya. Dia harus belajar berdiri di atas kedua kakinya sendiri!”
“Trus menurut Ayah, cara Ibu mendidik Qeith salah gitu? Apa harusnya seperti Ayah yang mendidiknya dengan keras? Yang ada dia malah kabur.” Ibu Qeith memberengut sebal.
Ayah Qeith menaikkan kacamatanya yang melorot. “Tidak semua keinginan Qeith harus dipenuhi. Qeith harus belajar merasakan kesulitan agar dia tidak terpuruk terlalu dalam saat gagal.”
“Oh, jadi Ayah mendoakan Qeith gagal gitu?” balas ibu Qeith sembari membelalakkan mata tak suka. Rasa cintanya yang terlalu besar pada anak semata wayangnya itu membuat ibu Qeith tak ingin Qeith berada dalam kesulitan. Kalau bisa, dia saja yang susah. Qeith jangan. Begitu pikirnya.
Ayah Qeith mendengus. “Bagaimana jadinya kalau dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan di luar sana?”
“Qeith anak yang pintar. Dia pasti bisa meraih apa yang dia cita-citakan,” kata ibu Qeith yakin.
“Pintar saja tidak cukup, Bu. Apa menurut Ibu, Qeith sudah bisa berpikir dewasa di usianya yang sekarang? Bagaimana dia bisa bertahan di dunia yang keras ini kalau dia tidak pernah dihadapkan pada masalah? Apa Ibu mau Qeith menjadi sosok yang rapuh?”
Ibu Qeith tak bisa menjawab. Dia tahu kalau anak laki-lakinya itu masih belum bisa mandiri dan tergantung pada orang tua. Ibu Qeith rela mencucikan baju putranya dan melayani semua kebutuhannya bak raja di usia Qeith yang sudah 18 tahun. Namun, remaja itu dipaksa keluar dari zona nyaman tepat setelah lulus SMA. Qeith diterima kuliah di universitas negeri yang ada di luar pulau tempatnya tinggal.
**
Qeith menemukan sosok ayah yang menyenangkan pada diri Xylo. Dosennya itu tidak hanya mampu berperan sebagai ayah, tapi juga kakak dan sahabat. Qeith selalu nyambung saat ngobrol banyak hal dengan Xylo. Di hadapan Xylo, Qeith berubah dari seorang introvert menjadi ekstrovert sejati. Pemuda itu dapat dengan mudah menceritakan berbagai unek-unek yang berkecamuk dalam benak.
Xylo tidak seperti ayah Qeith yang keras. Saat dunia dilanda wabah COVID-19, Qeith yang kesulitan menemukan tempat vaksinasi di kota tempatnya belajar, memutuskan untuk pulang kampung.
“Kenapa mau balik? Bukannya masih repot ngurusin skripsi?” tanya ayah Qeith di ujung telepon.
“Mau vaksin, Yah,” jawab Qeith singkat.
Terdengar helaan napas panjang sang ayah di seberang sambungan.
“Emang di sana nggak ada vaksin? Coba cari dulu di sekitar kampusmu, kan banyak. Nyari tempat vaksin aja nggak bisa.”
Qeith merasa seolah tubuhnya dibanting ke tanah hingga membuat tulang-tulangnya remuk. Bukan sekujur tubuhnya yang hancur, melainkan hatinya yang berkeping-keping.
Bagi Qeith, kalimat sang ayah lebih mematikan dibandingkan meneguk Polonium. Qeith tak mengiakan atau menolak perkataan ayahnya. Pemuda itu hanya meminta izin pada ayahnya untuk mengakhiri telepon.
Sebenarnya selain karena alasan vaksinasi, Qeith mempunyai satu alasan penting dan mendesak untuk pulang. Xylo tidak bisa diajaknya bicara untuk persoalan ini karena dialah sumber masalahnya.
Qeith pikir hanya Ibu yang bisa membantu. Karakter Qeith yang tertutup dan tidak mudah bergaul membuatnya tak punya referensi untuk bertanya. Terlebih selama ini hanya Ibu yang selalu ada untuknya. Akan tetapi, kalimat Ayah yang menusuk di telepon membuatnya enggan pulang.
Seorang teman kos Qeith membaca mendung yang bergelayut di atas kepala pemuda itu. Dia berusaha bertanya apa yang terjadi, tapi hanya dijawab dengan gelengan lemah Qeith. Teman itu pun tak lagi bertanya lebih lanjut, takut mengganggu Qeith. Dia pikir mungkin nanti Qeith akan bercerita kalau sudah siap.
Biasanya laki-laki memerlukan waktu untuk berdiam diri dan “masuk gua” untuk menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi. Kaum Adam baru akan mencari second opinion dari orang yang dianggap mampu menyelesaikan masalah ketika merasa butuh bantuan. Tidak seperti kaum Hawa yang suka curhat saat punya masalah hanya sekadar untuk melegakan hatinya.
Namun, anggapan teman satu kosnya itu salah besar. Dia justru menemukan tubuh Qeith yang menggantung di langit-langit kamar tiga hari setelah pertemuan terakhir mereka. Sang kawan sungguh menyesal mendapati Qeith yang meregang nyawa dengan cara yang tidak disukai-Nya.
Padahal banyak teman yang peduli dan bersedia mendengarkan curhatannya, bahkan membantunya keluar dari jerat masalah. Orang tua dan keluarga Qeith juga pasti ada untuknya. Pun ada Allah, sebaik-baik tempat meminta tolong.
Yang tidak diketahui kawannya, Qeith tak sanggup lagi menahan beban masalah yang menghantam pikirannya. Lembaran hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa dia tertular penyakit kelamin dari Xylo yang gay. []
Comment