by

Murid Baru

SMA Bintang Jatuh. Tidak asing kan dengan nama sekolah itu? Hari ini, pada detik ini, aku tiba di sana. Berdiri menghadap gedung setinggi tiga lantai yang berjarak nyaris lima belas meter dari pintu gerbang.

Namaku Hansa Wijaya Heksanggara. Dan aku adalah murid baru di sekolah ini. Hari ini tepat hari ke-5 aku di sini. Dan statusku masih murid baru.

Tapi aku tak akan menceritakan tentang hari ini. Tepatnya, aku akan bercerita tentang hari kemarin, hari ke-1 hingga hari ke-4, aku di sekolah ini.

Tepatnya pada hari itu, bulan Desember pada tahun 2021, di mana pandemi COVID-19 masih menjadi ancaman. Aku datang sebagai murid baru di SMA Bintang Jatuh. Kulangkahkan kedua kakiku yang terbalut sepatu converse di koridor sekolah. Setelahnya, kuperkenalkan diriku di hadapan semua teman sekelasku usai sang wali kelas dari kelasku berada menyuruhku melakukannya.

“Gue Hansa. Dari Solo.”

Ya, Solo. Tanah kelahiranku.

“Salkeeen, Hansaaaa!” seru seisi kelas mendadak heboh.

“Hai, Hansa!”

“Salken, Hansa!”

Sambutan-sambutan itu tidak ayal lantas membuat senyum tipisku merekah. Setelah selesai memperkenalkan diri, wali kelasku pun menyuruhku untuk duduk di salah satu bangku kosong yang ditunjuknya.

Di sana, di sebelah seorang cewek.

Seisi kelas langsung mematung setelah kulihat. Apa? kenapa? apa yang terjadi?

Mencoba mengabaikannya, aku pun perlahan duduk di sana dan mulai meletakkan tasku seraya mengeluarkan alat tulis di sana.

Nyaris dua jam penuh proses belajar mengajar berlangsung dengan damai. Dan dua jam itu pula aku sama sekali tidak membuka suaraku untuk cewek di sampingku itu. maksudku, ya, bukan kemauanku tidak berkenalan dengannya, tapi sejak tadi dia terlalu tertutup.

Oke, baik. Terdengar aneh memang. Tapi aku adalah tipikal cowok yang tidak pernah canggung jika berada di dekat cewek. Namun aura cewek ini berbeda. Anehnya aku merinding sejak tadi.

Tuk!

“EH, sorry.”

Niatnya aku ingin berdiri, tapi tiba-tiba sikutku malah menghantam kacamatanya hingga jatuh. Aku pun kelimpungan meminta maaf berulangkali sembari mencoba untuk meraih kacamatanya yang jatuh ke lantai.

Tapi cewek—yang tidak kuketahui namanya—itu menepis tanganku dengan kasar seraya melengos lalu melenggang pergi meninggalkanku tanpa satu patah kata pun.

Hei? Bukankah itu tidak sopan? Maksudku, niatku baik sudah meminta maaf kepadanya dan berniat untuk membantunya, tapi kenapa?

Kantin.

Kusuap nasi gorengku ke dalam mulut, tidak lupa kuraih kerupuk dan mengunyahnya berbarengan dengan nasi goreng berwarna merah nyaris kehitaman itu. soal rasa, ini adalah nasi goreng paling perfect yang pernah kumakan. Dan letaknya di kantin terbuka sekolah ini.

Baca Juga  Memories

“Iya, lancar. Di sini nyaman, kok. Tapi Hansa mau sendiri dulu. Nyari temennya nanti aja.”

“Tapi nanti kalo nggak dapet gimana!” Itu seruan dari saudara perempuanku yang tinggal di Solo. Saat ini ia sedang bekerja, dan di sela itu ia sempatkan untuk mengobrol denganku.

“Pasti dapet lah, Mbak. Orang mana di dunia ini yang nggak butuh temen?”

Kedua mataku terangkat ke depan, demi menyaksikan seorang cewek berkacamata—teman sebangkuku—lewat dengan sorot kilatnya ke arahku.

“Uakkhhuhuhu!” Aku terbatuk keras sembari menyemburkan makananku. Sial.

“Sa! Heh, Hansa, kenapa lo?”

Aku segera minum dan menjawab, “Nggak papa, nggak papa.”

“Ah lo, bikin khawatir aja. Eh udah dulu ya, Mbak istirahatnya udah selese nih. Hansa baik-baik di sana ya. Byeeee.”

Tut.

Sambungan pun terputus. Setelah itu, aku pun kembali melanjutkan makanku bekas tersedak secara tidak terhormat tadi.

Kulihat tidak jauh dari mejaku, cewek itu ada di salah satu meja, sendirian. Tanpa teman. Apa dia memang selalu seperti itu?

“Oke, malam ini jangan sampai ada yang ngelewatin acara sepi, ya. Termasuk murid baru, Hansa, ya. Jam delapan.”

“Siap, bu!”

Ini hari ketiga. Dan aku belum ada minat untuk mencari teman dekat. Haha, kupikir aku akan mulai mencari teman di hari ke-tujuh saja.

Acara sepi? Acara macam apa itu?

Bruk.

Di tengah sedang sibuk-sibuknya berpikir, tasku tiba-tiba disenggol. Rupanya pelakunya adalah cewek berkacamata teman sebangkuku. Jika dipikir, rupanya sudah tiga hari ini aku belum pernah memulai percakapan dengannya. Satu patah kata pun tidak.

Ia menatapku dengan tatapan tajamnya. Oh, astaga. Mengerikan sekali.

“Apa?” tanyaku.

“Jangan berpikir untuk datang.”

“Hah? Maksudnya?”

“Ke acara sepi!” serunya.

“Kenapa lo ngelarang? Hak gue dong untuk datang.”

“I warn you.”

Wajahnya tampak mengancam. Benar-benar mengancam. Setelahnya, cewek itu pun melenggang pergi meninggalkanku.

Apa-apaan itu? kenapa dia melarangku untuk pergi? Setelah tiga hari tidak pernah berbicara denganku, dan sekali berbicara dia langsung mengancamku, begitu?

Sekolah, pukul 20.00 WIB.

Aku tiba di sekolah dengan baju berwarna hitam seperti yang sudah diinstruksikan oleh sekolah.

Teman-temanku yang lain juga tampak terlihat berpakaian sama dengan yang kukenakan: memakai pakaian berwarna hitam.

Wow. Gelap sekali auranya. Mereka semua berkumpul di lapangan.

Setelah beberapa saat, suara mic yang menyakitkan pun terdengar dari depan sana, tepat di depan panggung berada. Semua murid langsung berkumpul, begitu pula denganku.

Anehnya, di depan sana sudah tergeletak masing-masing lilin dalam posisi berdiri, dalam setiap jarak kurang dari setengah meter.

Kepala Sekolah pun menyuruh kami untuk duduk di sana. tunggu, ini seperti acara pramuka yang bagian merenung itu. Haha, benar saja. Kami disuruh duduk menghadapi lilin-lilin merah yang belum menyala tersebut.

Baca Juga  Cerpen: Hilang, Namun Dia Ada!

Konyol?

Kepala Sekolah sibuk berceloteh di depan. Seperti pembukaan untuk acara merenung malam ini? Hahahaha. Kurasa hanya sekolah ini kah yang hanya mempunyai acara seperti ini? Apa tadi nama acaranya, acara sepi?

“Hansa.”

Namaku dipanggil oleh suara lembut berbisik. Aku menoleh ke kiri dan menemukan sosok cewek berkacamata—yang sampai sekarang masih tidak kutahu namanya itu.

“Gue bilang jangan datang, kan?” ujarnya menekan kalimatnya dengan suara pelan.

“Kenapa ngelarang gue bilang? Gue bahkan nggak tahu nama lo, kan? Lo juga nggak pernah mau ngomong sama gue. Terus, kenapa gue harus menuruti apa kata lo?”

Kasar. Maaf. Aku tak bermaksud begitu, aku cuma kesal saja. Yah, begitulah. Lihat saja dia, jika ingin berteman, harusnya dia memperkenalkan namanya kepadaku, kan? Harusnya dia tidak jutek kepadaku, kan?

Aku tak baperan, aku cuma kesal. Mana dia cantik banget lagi. Upps, Hansa.

Belum sempat menjawab cecaranku dan baru saja akan membuka mulut, tiba-tiba—

Tek!

Lampu dipadamkan. Seluruh sekolah mendadak gelap gulita. Satu persatu lilin dinyalakan, begitu pun dengan aku yang juga ikut menyalakannya.

“Kita mulai.” Itu ucap dari Kepala Sekolah di depan sana sebagai pemimpin acara.

Kami semua menghadap lilin. Di samping kiriku, aku merasa cewek itu terus menatapku. Aku malas untuk menoleh. Sementara di depan sana, Kepala Sekolah mulai memejamkan matanya, bibirnya perlahan terbuka. Satu patah kata, dua patah kata, hingga beberapa puluh patah kata, aku tidak dapat mengerti apa yang diucapkannya.

Tapi aku mulai pusing, bung.

Tunggu sebentar.

Kugelengkan kepalaku agar tetap terjaga. Tapi sial, aku pusing. Lilin itu kini blur. Dan setiap detik, blurnya semakin parah.

Set!

Aku kembali terjaga.

Kutegakkan tubuhku sembari terus menatap api dari lilin yang menyala itu hingga kemudian…

“Aaargh!” teriakku refleks sembari termundur keluar dari barisan.

BAGAIMANA TIDAK?

Punggung. Punggung mereka berdarah. Tidak. Tidak. Punggung mereka bolong!!!

Aku histeris di tempat sampai tidak menyadari kini mereka semua telah menoleh kepadaku.

Tanganku ditarik. Cewek berkacamata itu berdiri di depanku.

“Ayo!”

Ia menarik paksa tanganku dan membawaku berlari dengan terbirit-birit.

Dengan segera, kami meninggalkan area sekolah saat itu juga. Di mana kini pandangan semua orang terpaku kepada kami. Astaga, ini mengerikan. Apa yang terjadi dengan mereka semua?!

Kami tiba di depan gerbang. Tapi sial! Gerbangnya dikunci…

“I-itu, m-mereka kenapaaa?” tanyaku frustrasi.

Cewek itu tidak menjawabku, ia tampak sibuk memikirkan cara bagaimana keluar dari tempat ini, I mean.

Baca Juga  Bayi Merah dalam Gendongan

“Woy!” teriakku.

“Nggak bisa.” Cewek itu mengindahkanku, ia menggumam. Setelahnya, tatapannya terangkat ke arahku, dan baru kali ini aku merasa tidak lagi merinding di dekatnya. “Kalo gue bawa lo keluar lewat pintu kelas, lo jangan kaget, ya?”

Aku bingung, “M-maksudnya?”

“Ayo.” Cewek itu lekas menarikku untuk berlari mengikutinya. Dan aku tidak punya pilihan lain. Siapa cewek itu?!

Kami tiba di pintu ruangan kelas kami di lantai dua. Dia pun membawaku menuju ke jendela.

“Lihat.”

Aku melongok ke bawah dan tanpa aba-aba langsung saja memaki tanpa bisa ditahan.

“Kenapa kabutnya merah gitu?!” jeritku histeris. “Ini tuh apa sih sebenernya?!”

“Lo lagi sakit, ya?” tanyanya. “Makanya bisa kebawa ke sini.”

“Maksud lo?”

“Sekolah ini berdiri di alam sebelah. Mereka menarik anak-anak yang sakit, jadi murid baru di sini, lalu… ingat kan lilin-lilin sama ucapan komat-kamit Pak Kepsek? Itu ritual sama mantra supaya ngiket roh kalian selamanya di sini. Jadi, di dunia kalian, kalian mati.”

“Shit.”

“Terus sekarang gue mati?”

“Belum. Pintu gerbang itu pintu untuk keluar, kalo dikunci artinya nggak bisa keluar. Dan kalo nggak keluar berarti kejebak. Dan kalo kejebak lo bakal mati. Gue udah bilang kan tadi siang jangan sampe lo dateng ke sini. Karena kenapa, karena ini malam ritual.”

“Kenapa lo nggak bilang dari awal?!”

“Gue juga manusia. Gue tahu di dunia ini gue diawasi, dan gue nggak berdaya. Tugas gue bantuin mereka keluar dari sini. Dalam keadaan apa pun. Hidup atau mati.”

“Tapi kenapa lo nggak mati? Apa lo sakit?”

“Nggak tahu.”

“Oke, sekarang gue mau balik. Gue mau bangun. Gue mau keluar dari tempat sialan ini!”

Cewek itu mengangguk.

“Janji ya jangan kaget.”

“Kalo kaget kenapa?” tanyaku.

“Kalo kaget lo mati.”

Aku pias.

“Iya.” Mengambang. “Makasih, ya.”

Cewek itu mengangguk lalu tersenyum tipis. Setelahnya… ia dorong tubuhku keluar jendela tanpa diduga dan… “AAAAA!”

Gelap.

Dokter bilang, aku terkena serangan jantung mendadak. Dia bilang, dia tidak bisa menyelamatkanku. Dan cewek itu bilang, rohku akan dikembalikan ke duniaku. Dan memang benar. Tapi aku tidak selamat.

Aku kembali ke tempat ini dengan memakai seragam sekolah. Di depanku berdiri, gerbang itu terbuka lebar. Gerbang dengan palang reyot bertuliskan: SMA BINTANG JATUH.

Ini adalah hari ke-5. Tapi ingat, kan? Saat ini aku tidak menghadapi bangunan utuh. Melainkan sebuah reruntuhan bangunan sekolah yang sudah hancur berpuluh-puluh tahun silam.

Dari duniaku, bukan dari dunia ‘mereka’.

TAMAT.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *