by

Kejutan Ulang Tahun

Setelah sekian menit mengamati pergantian detik, akhirnya jam digital menunjukkan empat angka kembar, 00:00. Tanggal 7 Agustus 2022, dan ini adalah hari ulang tahunku yang ke seperempat abad.

Debar jantung mulai tak menentu. Seharusnya di jam ini sudah ada pesan masuk darimu, seseorang yang sudah delapan tahun menemani perjalanan hidupku sebagai seorang kekasih, dan sebulan lagi menjadi suami.

Satu menit berlalu dan aku masih berteman keheningan. Kupaksakan untuk tetap tenang walau napas sudah agak berat. Tak biasanya kau terlambat mengucapkannya. Kucoba mengejarmu di semua sosmed, tetapi nihil, padahal biasanya kau mengunggah setiap momen manis kita di sana.

Lima menit, dan aku mulai berharap kau akan datang memberiku kejutan di balik ketukan pintu. Barangkali kau memajukan jadwal liburmu yang masih seminggu, atau bisa jadi kau memang sedang merencanakan sesuatu. Ah. Mas Didi. Memeluk wangi tubuhmu saja sudah mampu membuatku melambung ke tempat paling damai di bumi.

Mas. Terima kasih sudah menunjukkan tempat dan orang-orang terbaik untuk pesta kita nanti. Terima kasih sudah meng-handle semua urusan pernikahan, walau sebenarnya aku tetap ingin dilibatkan dan bukan sekadar memilihkan satu dari dua tiga yang kau sodorkan. Terima kasih selalu menjadi tempat ternyaman untuk hati dan jiwaku.

Sudah sepuluh menit, dan ponselku masih membisu. Jangan tanya bagaimana hatiku, sebab ia mulai disusupi rasa galau dan hasrat untuk menumpahkan emosi, tetapi masih kutahan. Aku ingin kau sadar tanpa harus diingatkan, Mas. Ini hari istimewaku. Ah. Sepertinya kau tertidur. Atau mungkin lupa? Awas saja kau, Mas.

Bekasi-Kalimantan memang bukan jarak yang ringan untuk diperjuangkan, apalagi kita hanya bertemu tiga bulan sekali dan masih harus berbagi dengan Tante Meity yang sebentar lagi kupanggil “Ibu”, tapi cintaku tetap berkobar tanpa lelah, hai marshmallow. Ayolah, jangan membuatku lama menunggu.

Dua puluh menit. Aku mulai tak sabar, Mas. Tapi jangan kau suruh aku untuk menghubungi lebih dulu. Kau tentu tahu, bahwa gengsiku terlalu tinggi dan kepalaku terlalu keras, untuk mengakui kerinduan berbalut kecewa, yang sedang dalam perjalanan menuju amarah. Aku sedang mempersiapkan amukan terdahsyat saat kau menelepon nanti. Seenakmu saja membuatku kesal hingga level lima belas.

Baca Juga  Cerpen: Potret Sebuah Kebaikan

Tiga puluh menit. Rasa ingin menelepon begitu kuat mendesak, tapi masih kupertahankan egoku. Nalarku kupekerjakan paksa demi mengalahkan hasrat untuk berteriak yang hampir tak terbendung lagi. Tak mungkin lelakiku lupa. Pasti ada sebab lain. Kuota habis, atau baterai ponselmu habis, misalnya.

Sebentar. Bukankah kau sama sekali tidak ceroboh? Setahuku semua ada catatannya, semua punya pengingatnya, semua selalu kau perhitungkan. Lalu, ada apa? Mengapa kau terlihat alpa? Oh, mungkin tak ada sinyal. Ah, iya, tak ada sinyal, itu dia! Tentu saja tak ada sinyal. Daya ponselmu mati karena kau sedang dalam perjalanan di angkasa demi mempertemukan cinta kita. Ha ha ha. Bodohnya aku. Baiklah. Aku sabar menanti.

Ketahuilah, Mas. Aku begitu merindumu dan begitu ingin kau boyong ke seberang lautan untuk hidup bersamamu. Yang tak boleh kau tahu adalah, aku ingin menguasaimu seutuhnya, tanpa kubagi lagi dengan Tante Meity.

Beliau telah memilikimu selama hampir tiga puluh tahun, sekarang giliranku. Adil, bukan? Beliau memang telah mengandung dan merawatmu, tapi aku kelak melahirkan anak-anakmu, penerus generasi Didi Sudradjat.

Sekarang hampir jam satu dan aku baru menyadari sesuatu. Memang ada dua jadwal penerbangan dari Kalimantan ke Jakarta dan mungkin saja kau satu di dalamnya, tapi sungguh tak masuk akal jika kau memilih berangkat tepat di pergantian usiaku. Aku harus menghubungimu di sela napas yang memburu dan hati yang kacau.

Sekali, dua belas kali, tiga puluh kali, dan tak ada jawaban. Mas. Kau kenapa? Tolong jangan buat batinku tersiksa. Aku takut, Mas. Tanganku gemetar dan basah oleh keringat. Jantungku berdegup kencang. Mas. Tolong jawab.

“Ya, Halo,” jawab suara di seberang sana, akhirnya. Namun, aku terkejut bukan main, sebab itu bukan suaramu.

“Halo, siapa ini?” Kulihat lagi layar ponselku dan benar ini nomormu, Mas.

“Saya Rahmat, Bu. Ini saya sedang berada di rumah sakit Media. Ibu siapa?”

“Apa? Pak. Ini HP suami saya. Kenapa bisa ada sama Bapak? Mana suami saya?” Saat ini amarahku telah berubah seratus persen menjadi ketakutan sebesar pohon beringin.

Baca Juga  Rindu yang Membelenggu

“Begini, Bu. Bapak mengalami kecelakaan ketika hendak menyeberang jalan dan sekarang sedang ditangani di IGD. Saya saksi matanya. HP memang saya pegang, tapi saya tidak bisa menghubungi keluarga karena HP Bapak terkunci.”

“Astagfirullah, Mas Didi!” Di titik ini aku sudah histeris, Mas.

“Bapak sempat menitipkan sesuatu dan berpesan pada saya untuk menyampaikannya kepada orang yang bernama Linda.”

“Ya Allah! Iya, saya Linda. Bagaimana kondisi suami saya?”

“Ibu tenang dulu, Bapak sedang ditangani. Segera datang ke sini, saya tunggu.” Telepon di tutup.

Serasa copot semua engsel di tubuh ini. Perasaanku langsung ciut. Aku ingin menjerit. Semoga kau tidak apa-apa. Sejenak otakku kosong, tak bisa berpikir dan memutuskan sesuatu, lalu aku tersentak. Kutelepon Tante Meity tetapi tak ada jawaban. Oh, taksi online. Ya, aku harus segera memesannya. Bertahanlah, Mas.

Syukurlah, Mas. Tak sampai satu menit aku mendapatkan pengemudi, namanya Ridwan Sanusi. Entah siapa orang itu, tapi dia tetanggaku sendiri, beda empat gang dari sini. Apa kau kenal, Mas?Aku hanya membawa dompet yang memang menyimpan semua data dan kartu. Aku memikirkan yang terburuk, berdasarkan suara Pak Rahmat tadi.

Kusambar jaket dan segera mengunci pintu. Mobil datang. Aku masuk dan duduk. Hening setelah kuminta sopir untuk melarikan mobil cepat-cepat. Kubuka layar ponsel untuk menelepon stau mengirim pesan pada Tante Meity, atau Om Rizki. Kami akan segera datang, Mas. Bertahanlah, kumohon.

**

“Sabar, Bu. Semua sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa,” kata seorang bapak, bukan kepadaku. Siapa dia? Oh, Pak Rahmat.

Aku memutar kembali ingatan yang sempat lumpuh sebelum kegelapan menjatuhkan tubuhku ke lantai. Sementara itu, di atas kepalaku ada Pak Rahmat, Tante Meity, Om Rizki, juga seorang kerabat Mas Didi rupanya.

Entahlah, aku tak mengenalnya, padahal setahuku Mas Didi sudah menyebutkan silsilah keluarga besarnya mulai dari nenek dan kakek dari ibu, juga ayahnya. Mungkin itu saudara jauh yang kebetulan mampir.

“Mas Didi!” seruku sambil bangkit dari posisi telentang.

Aku terduduk di brankar dorong yang diletakkan di depan ruang IGD. Rupanya aku pingsan cukup lama, karena mereka belum lagi membaca pesanku saat bertemu dengan Pak Rahmat di depan pintu tadi. Secepat kilat aku teringat akan kekasihku. Oh, Tuhan. Mas Didi. Benarkah kau telah meninggalkanku untuk selamanya?

Baca Juga  THE FUNERAL

“Linda, terima kasih telah mengabari kami,” ujar Tante Meity dengan mata sembab.

“Tante. Mas Didi …,” kataku dengan air mata berderai. Kami berpelukan.

Aku melompat dari brankar dan ingin melihat Mas Didi untuk terakhir kalinya, tetapi ditahan oleh Tante Meity. Sedang dimandikan, katanya. Entah bagaimana menggambarkannya, tapi seperti ada yang mencabut jantungku, Mas. Kopong di dalam sini. Lemas sekali sewaktu kupaksakan berdiri, sementara gadis cantik berjilbab putih itu terus saja melihatku.

“Linda, kenalkan. Ini Marsha, calon istrinya Didi.”

“Apa? Tante jangan bercanda, ya,” jawabku singit.

“Tante tidak bercanda, Lin. Mereka akan menikah bulan depan. Sayang, Allah berkehendak lain.”

Gadis itu tersenyum tipis sambil mengangguk dan memberi tangan. Kami bersalaman. Namun, batinku dijejali pertanyaan dan kebingungan. Ucapan Tante Meity yang datar tanpa rasa bersalah membuat dadaku sakit. Apa-apaan ini, Mas? Bukankah aku yang akan menikah denganmu?

Lantas, apa artinya delapan tahun hubungan kita, Mas? Apa maksudmu bermain-main denganku tiap kali kita bertemu? Apa maknanya menyuruhku memilihkan semua persiapan pernikahan? Dadaku bergemuruh. Oh, ya. Pak Rahmat. Aku harus menunjukkan titipan itu pada Tante Meity. Apapun itu, tapi aku sangat yakin, itu adalah bukti cinta kita.

Pak Rahmat memberiku kotak berpita merah muda seraya berpamitan. Dengan jumawa dan tatapan sinis aku membuka kotak itu di hadapan mereka. Ah! Apa ini? Sebuah undangan bertuliskan namamu dan … tidak! Tanganku gemetar membuka sepotong surat tulisan tanganmu. Isinya permintaan maaf karena harus menuruti keinginan Tante Meity, untuk menikahi anak dari relasi bisnis Om Rizki itu. Brengsek!

“Linda, maafkan Tante,” jawab wanita paruh baya itu sambil menepuk bahuku.

“Tidak, Tante. Justru saya ingin berterima kasih, sebab mulai detik ini saya tak perlu bersedih lagi. Permisi,” sahutku sambil berlalu.

Tuhan memang adil.

Bekasi, 7 Agustus 2022

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 comments

  1. Wah, endingnya nyesek, ya. Ada sedikit yang kurang jelas. Kenapa waktu bicara dengan Pak Rahmat, Linda mengaku sebagai istri Didi? Kemudian ternyata baru calon instri.