by

Cerita Seru Tentang Asisten Rumah Tangga

Bu Fatma sedang pusing menghadapi pekerjaan di rumah yang tidak ada habisnya. Setiap suami dan ketiga anaknya yang masih SD berangkat ke kantor dan ke sekolah masing-masing, ia harus berjibaku dengan tumpukan pakaian kotor yang belum dicuci, perabotan bekas memasak di dapur, dan rumah yang berantakan. Sudah sebulan ART yang bekerja di rumahnya pulang ke kampung untuk menikah dan tidak kembali lagi.

Setelah berusaha mencari ART baru tanpa hasil, ia sungguh senang ketika seorang sepupunya menawarkan seorang ART yang dibawa oleh dari kampung oleh ART sepupunya itu. Walaupun calon ART itu belum mempunyai pengalaman kerja sama sekali, ia terpaksa menerimanya.

Ijah, ART baru itu, berumur delapan belas tahun, bertubuh pendek dengan muka bulat dan rambut keriting. Kulitnya sawo matang dan sikapnya sangat sopan. Bicaranya masih campur aduk antara bahasa Indonesia dengan bahasa ngapak khas orang Indramayu, kampung halamannya.

Walaupun belum pernah bekerja di rumah orang, Ijah sangat rajin dan penurut. Ia juga sabar dan sayang kepada anak-anak. Tak heran jika seisi rumah Bu Fatma menyukainya.

Saat itu, tahun 1988, dispenser tempat meletakkan galon air mineral masih merupakan barang baru. Ijah melihat dan memegangnya dengan terheran-heran. Sambil meraba-raba bagian belakang dispenser itu, ia bertanya kepada Bu Fatma dengan wajah polos, “Kok bisa keluar air panas ya Bu? Kompornya nggak ada di belakang sini.”

Pernah juga Bu Fatma menemukan kaleng kecil berisi pewangi ruangan di dalam kulkas. Ia langsung curiga dan memanggil Ijah.

“Jah, siapa yang menaruh pewangi ini di dalam kulkas?”

“Pewangi? Yang ada gambar jeruk lemon itu, Bu? Ijah kira itu buah jeruk dalam kaleng, Bu.”

Bu Fatma tidak bisa marah. Ijah tidak salah lihat, memang ada gambar jeruk lemon berwarna kuning di kaleng pewangi ruangan itu dengan tulisan berbahasa Inggris.

**

Bertahun-tahun setelah itu, ketika anak-anaknya sudah besar, Bu Fatma mempunyai seorang ART bernama Esih. Ia bekerja di rumah Bu Fatma selama tiga tahun.

Baca Juga  Cerpen: Menunggu Malaikat Maut

Pertama kali datang, ia masih berumur tujuh belas tahun. Wajahnya manis dengan potongan rambut dan pakaian mengikuti tren pada zaman itu, Dia bekerja dengan rajin dan cekatan. Yang menarik, dia seringkali bekerja sambil bernyanyi-nyanyi kecil lagu dangdut.

Walaupun suaranya lumayan, tapi lama-lama Bu Fatma terganggu juga. Kalau ia membahas soal itu dengan suaminya, jawabannya selalu, “Biarin ajalah dia mau nyanyi apa juga, yang penting kerjaannya beres.”

Pernah suatu kali, tetangga di ujung jalan dekat rumah Bu Fatma mengadakan hajatan perkawinan. Ketika akan ke warung, Esih melihat orang-orang sedang memasang tenda besar dan panggung untuk hiburan di acara itu.

Sampai di rumah, dia bertanya kepada Bu Fatma, ” Esih lihat di rumah yang pagar biru mau dja hajatan, ada panggungnya juga. Ibu diundang apa nggak?”

“Oh, itu pesta kawinan anaknya Bu Ratman besok siang. Iya, Ibu sama Bapak diundang. Kenapa memangnya?”

“Boleh nggak Esih ikut, Bu?”

“Kok tumben kamu mau ikut ke acara kawinan?”

“Iya, Bu. Soalnya ada panggung dangdutnya. Esih kepingin nonton, Bu. Boleh ya, Bu?”

“Oh … kamu mau nonton dangdut. Ya udah ikut aja besok, temenin Ibu. Kebetulan Bapak juga lagi kurang sehat, jadi nggak bisa pergi.”

“Beneran, Bu?” Alhamdulillah … kesampean juga niat Esih kepingin nonton dangdut.”

Keesokan harinya, jam sebelas siang Esih sudah berdandan rapi memakai bajunya yang paling bagus. Baju terusan berwarna hijau stabilo dengan renda-renda dan bunga mawar sebesar telur ceplok di bagian dada.

Setibanya di acara itu bersama Bu Fatma, panggung dangdut sedang seru-serunya. Seorang artis dengan dandanan menor dan pakaian yang ketat, sedang menyanyikan lagu dangdut terbaru berjudul “Mandi Madu.”

Setelah bersalaman dengan pengantin, Bu Fatma mengajak Esih untuk mengambil hidangan prasmanan. Sambil makan, Bu Fatma duduk mengobrol dengan ibu-ibu tetangga. Esih duduk manis di sebelah Ibu sambil menikmati makanannya.

Setelah menghabiskan hidangan prasmanan, Bu Fatma masih diajak oleh teman-temannya mencicipi hidangan di pondok-pondok yang tersedia. Acara makan dan mengobrol genk ibu-ibu ini cukup lama sampai kemudian Bu Fatma menyadari bahwa Esih sudah tidak terlihat lagi.

Baca Juga  Cerpen: Miss You Too

Dengan bingung, Bu Fatma bertanya kepada teman-temannya apakah ada yang melihat Esih. Bu Salman yang sebelumnya duduk paling dekat dengan panggung yang agak jauh dari tempat Bu Fatma duduk, balas bertanya, “Mbaknya yang tadi datang bareng sama Ibu, ya? Bukannya itu yang pake baju hijau lagi nyanyi di atas panggung?”

Penasaran, Bu Fatma langsung melihat ke atas panggung. Di sana, Esih sedang bernyanyi sambil bergoyang seru diiringi band. Rupanya, ketika pembawa acara menanyakan apakah di antara tamu undangan ada yang mau naik ke panggung untuk bernyanyi, Esih yang pertama mengacungkan tangannya. Rupanya itulah tujuannya ketika minta diajak ke tempat hajatan.

**

Beberapa tahun setelah Esih berhenti bekerja, Bu Fatma mempunyai seorang ART bernama Lilis yang berusia 20 tahun. Ia bertubuh mungil dan berwajah manis dengan tahi lalat di dagu. Saat itu sudah banyak ART yang mempunyai ponsel sendiri.

Pernah suatu pagi, Lilis menyapu lantai sambil mengangguk-angguk menahan kantuk. Pada masa itu ada paket bicara gratis dengan ponsel sejak jam 12 malam sampai jam enam pagi.

Bu Fatma memanggil Lilis dan bertanya, “Kenapa kamu nyapunya sambil ngantuk begitu, Lis?”

“Iya Bu, maaf. Soalnya tadi malam temen Lilis curhat.”

Menjelang lebaran, Lilis minta izin pulang kampung karena orang tuanya sakit. Karena lama tidak kembali, Bu Fatma mencari ART baru. Dari seorang tetangga, ia mendapat ART bernama Karsih, yang berusia 40 tahun. Orangnya baik, rajin, dan sabar. Sayangnya, ia tidak bisa membaca dan menulis. Ketika Bu Fatma ingin mengajarinya, ia menolak. Alasannya karena sudah tua dan malas belajar. Masih untung dia bisa membaca angka.

Setiap Karsih mau ke pasar, Bu Fatma memberikan daftar barang yang harus dibeli. Lah, kok bisa? Bukannya Karsih nggak bisa baca? Rupanya, dalam daftar belanjaan, Ibu tidak menulis barang yang harus dibeli, tapi menggambarnya. Jadi dalam daftar itu ada gambar cabai, bawang, tomat, ikan, ayam, dan juga buah-buahan.

Baca Juga  Susahnya Hidup di Perantauan

Kadang-kadang ada saja barang yang salah dibeli. Gambarnya brokoli tapi yang dibeli kembang kol, gambarnya lobak tapi yang dibeli wortel. Bukan salah Karsih juga, sih. Itu karena Bu Fatma bikin gambarnya nggak berwarna!

**

ART Bu Fatma yang berikutnya adalah Mpok Juju. Dia berusia 42 tahun, bertubuh agak gemuk dan berambut lurus. Sehari-hari selalu memakai daster. Orangnya ramah dan lugu dengan gaya bicara seperti pemain sandiwara lenong Betawi.

Sambil menyetrika pakaian, ia suka mengajak Bu Fatma mengobrol. Biasanya ia bercerita tentang anak-anaknya yang sudah remaja. Suatu malam Bu Fatma mendengar suara-suara orang bernyanyi dari kejauhan. Rumah Bu Fatma cukup dekat dengan sebuah lapangan luas milik Mako Brimob Kelapa Dua yang sering dipakai untuk tempat band-band mengadakan konser.

Pagi harinya, Mpok Juju bertanya pada Bu Fatma, “Bu, tadi malem Ibu ngedenger ape kagak ada yang konser di lapangan Brimob?”

“Iya, saya dengar juga tapi cuma sebentar. Habis itu langsung tidur nggak dengar apa-apa lagi. Emang Mpok Juju nonton konsernya?”

“Saya mah kagak nonton, Bu. Males ah, udah sambil berdiri, dempet-dempetan lagi. Bocah-bocah di rumah, si Wati ama si Jejen pada nonton tuh ama temen-temennye. Katenye sih seru banget dah, artisnya top-top semua. Ada yang namanye Wali, ada Ungu, ada Ratu, terus ada atu lagi … apaan ya? Saya lupa dah. Kata bocah-bocah sih cakep banget tuh lagu-lagunye.”

“Band apa Bu namanya yang lagunya cakep-cakep? Saya jadi kepingin tau.”

“Ntar dulu, Bu. Saya lupa namanya. Saya inget-inget dulu ya …”

“Apaan dong, Bu? Jangan bikin penasaran ah …”

“Apaan yak kata bocah-bocah tadi malem? Namanya kaya pohon-pohonan gitu dah. Ah, saya inget sekarang, namanya … G A B A H. Iya bener, gabah!”

“Hah, emang ada? Kok saya belum pernah denger? Salah kali, Bu! Eh … jangan-jangan, maksudnya … P A D I kali, Bu!”

“Nah, bener! Ntu die maksud saya. Namanye Padi!”

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

2 comments