by

Cerita Kejutan dari Tukang Pijat Langganan

Tujuan utamaku pijat padanya bukan untuk membuat rileks tubuhku yang capek, tapi karena aku senang membayar cerita-ceritanya. Pijatannya tidak begitu terasa. Tubuhnya ringkih dengan jari jemari seperti ranting kering. Namun, cerita-ceritanya tentang bagaimana dia mendidik anak dan pengalamannya makan asam garam kehidupan memukauku.

Cerita-ceritanya membuatku sadar bahwa menjadi ibu rumah tangga adalah hal yang menyenangkan. Dulu, aku begitu kesal saat diminta suamiku resign dari kantor. Beliau tak mau anak kami dititipkan pada pengasuh. Jadi, mau tak mau aku harus mengasuhnya sendiri.

Awal-awal menjadi ibu rumah tangga, otakku serasa dijejali dengan gunungan sampah yang dijilati api. Gerah dan menjemukan. Hampir setiap hari air mataku meleleh karena merasa terkungkung dan tak lagi bisa mengaktualisasi diri. Aku juga kerap mengamuk jika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginanku. Namun, sejak mengenal tukang pijat yang mempunyai tahi lalat di ujung hidung itu, pandanganku berubah perlahan.

Bisa dipastikan setiap bulan aku selalu memanggil tukang pijat itu ke rumah. Kalau sedang kangen dengan cerita-ceritanya, aku bahkan bisa memanggilnya setiap satu pekan sekali. Memintanya memijat tubuhku yang sebenarnya baik-baik saja. Selain untuk mendengarkan cerita-ceritanya, aku sekaligus ingin membantunya. Dia orang tua tunggal yang memiliki tiga orang putra.

Wanita kurus itu sampai heran kenapa aku sering sekali minta pijat. Kubilang pekerjaan rumah membuat kepalaku pusing dan bahuku tegang. Sentuhan tangannya—atau lebih tepatnya cerita-ceritanya—selalu berhasil membuatku rileks. Tidak seperti tukang pijat lain yang suka bercerita tentang kehidupan para pelanggan pijatnya, dia lebih banyak bercerita tentang dirinya.

“Anak saya yang kecil itu gampang tersinggung, Mbak. Pernah dia pulang sekolah sendiri karena tidak diacuhkan gurunya. Katanya, dia udah teriak-teriak sampai suaranya serak, tapi nggak diperhatikan. Anak yang diperhatikan cuma yang mamanya ngasih makanan ke guru. Dia nyalahkan saya karena nggak pernah ngasih makanan ke guru, jadi dia nggak diperhatikan.”

Baca Juga  Cerpen: NAVAGIO 10 TAHUN SILAM

“Kok bisa mikir sampai sejauh itu, ya,” komentarku.
“Nah, saya takutnya dia cuma fitnah, jadi saya pastikan ke sekolah. Saya lihat apa bener yang dia omongin. Ternyata bener. Di sekolahnya kayak saingan ngasih makanan gitu. Trus dia ngambek, nggak mau sekolah. Ya udah, saya biarin nggak masuk. Tapi, besoknya baru saya nasihatin,” ceritanya panjang lebar.

“Jadi, nggak bisa, ya, langsung dibilangin gitu?” tanyaku. Aku biasanya gampang terpantik saat anakku tidak mau melakukan apa yang kuminta. Buntutnya, aku jadi ngomel dan menasihatinya panjang lebar.

“Tunggu keselnya reda dulu. Kalau lagi marah, nggak masuk kalau dibilangin.” Aku manggut-manggut.

“Pas saya ajak dia naik angkot, di jalan ada anak yang minta-minta. Saya bilang, ‘Tuh, lihat kasihan, ya, anak itu. Orang tuanya nggak tanggung jawab. Setidaknya meski Mama nggak bisa menuhin semua kebutuhan kamu, Mama tanggung jawab ngasih kamu makan dan nyekolahin kamu. Makanya kamu harus nurut sama Mama. Kalau kamu nurut sama Mama, Mama juga nurut sama kamu. Mama mau belikan apa yang kamu mau, itu kan Mama nurut sama kamu, meskipun lama belinya karena harus ngumpulin uang dulu.’ Anak saya matanya langsung berkaca-kaca dan meluk saya.”
Saya kembali mencatat dalam benak kalau wanita itu mengasah empati anaknya lewat hal-hal semacam ini.

“Pernah dia minta dibeliin mainan pas saya lagi nggak ada uang. Saya minta dia ambil semua uang saya yang ada di dompet dan di tas untuk dihitung. Katanya, banyak ya, uang mama, bisa buat beli mainan. Trus saya bilangin kalau tiap bulan harus bayar listrik segini, beli beras dan lauk segini, sabun dan tetek bengeknya segini, belum kebutuhan lain. Saya suruh dia hitung. Ternyata uang saya cuma cukup buat kebutuhan sehari-hari aja, nggak bisa buat beli mainan. Setelah itu akhirnya dia yang bantu belanja beras dan lain-lain.”

Baca Juga  Hijab Penolong Pertama dan Terakhir

“Wah, hebat, Bu. Udah diajari mengelola keuangan juga, ya.” Aku terkagum-kagum.

“Saya minta dia buat sabar. Kalau ada uang, InsyaAllah saya belikan mainan. Trus dia saya suruh “kerja”. Setiap kali bantuin saya, dia saya kasih uang. Uangnya dia kumpulkan buat beli mainan.”

“Apa nggak papa gitu dikasih uang? Apa jadinya nggak kayak bantu orang tua tapi nggak ikhlas?” tanyaku penasaran.

“Saya pengennya dia itu tahu proses mencari uang. Kalau buat dapatkan uang itu susah, nggak instan, jadi dia nggak asal minta sesuatu,” jelasnya.

“Tapi kasihan juga, sih, Mbak. Sampai dia mengeluh kayak gini, ‘Nggak enak, ya, Ma, jadi orang miskin. Apa-apa disuruh sabar terus.’ Dia sampai membandingkan dirinya sama temennya yang anak orang kaya.”

“Trus Ibu bilang apa ke dia?”

“Makanya kamu harus belajar yang pinter kalau mau jadi orang kaya. Karena segala sesuatu butuh ilmu. Apalagi kalau kerja itu butuh ijazah. Bisa, sih, kerja nggak pake ijazah, tapi paling jadi tukang pijat kayak Mama, sopir, tukang sapu atau tukang parkir. Jadi, saya pengennya dia itu belajar karena kesadaran sendiri, bukan disuruh-suruh. Dia juga sering saya ajak diskusi supaya bisa berpikir kritis dan logis.”

“Pantas saja anaknya selalu berprestasi dan mendapat beasiswa,” batinku takjub.

“Prosesnya lama, Mbak, harus berulang-ulang. Saya bikin catatan tentang perkembangannya. Indikatornya dia sudah mandiri sampai dia bisa melakukan sesuatu tanpa disuruh.”

Aku bertekad meniru caranya, membuat catatan perkembangan anak.

“Setiap kali dia main, saya kasih waktu. Setiap lima belas menit, dia harus lapor. Saya suruh lihat jam di masjid atau pos ronda.”

“Kelas berapa itu?”

“Ya mungkin kelas 3 atau 4 SD, pas dia udah bisa baca jam. Biar dia nggak bisa main jauh-jauh. Nah, pas dia SMP, dia sadar kalau dulu saya akalin biar nggak main sampai tanggul air.” Wanita itu tersenyum bernostalgia.

Baca Juga  Tiga Sudut Segitiga Cinta

“Saya lagi pusing, Bu. Anak saya susah banget makannya. Berat badannya nggak naik-naik,” keluhku. Selain mendengarkan berbagai tips yang dilakukannya dalam mendidik anak, aku juga sering konsultasi terselubung.

“Anak saya juga gitu dulu, makannya susah. Makanya kita yang kudu kreatif. Saya bikin nasinya jadi cemilan, dibulet-bulet trus diisi lauk. Sayur sama buah diblender jadi es atau dicampur ke agar-agar. Kadang makan nasinya dicampur snack kesukaannya.”
Saya manggut-manggut. Menuliskan penjelasannya di catatan dalam otak.

Jika sudah bercerita, dia bisa ngobrol tak putus-putus. Dan aku sengaja menghujaninya dengan banyak pertanyaan agar ceritanya tak kunjung usai. Namun, setelah maksimal 120 menit, dia akan berhenti bercerita sekaligus mengakhiri pijatannya. Kemudian, dia pamit pulang untuk memijat di tempat lain.

Akan tetapi, sudah dua pekan ini aku kesulitan menghubunginya dan tidak pernah lagi melihatnya lewat di depan rumah. Biasanya dia lewat depan rumah dan menyapaku dua atau tiga hari sekali. Aku pun memutuskan untuk mengunjungi rumahnya. Aku rindu akan cerita-ceritanya.

Namun, sebuah cerita mengejutkan kudengar dari tetangganya. Dia mengabarkan bahwa tukang pijat langgananku itu tengah berada di klinik kesehatan mental. Psikolog sedang mengobservasi kondisi psikis wanita itu. Dia membekap ketiga anaknya yang sedang tidur.

Dari kabarnya yang kudengar, wanita kurus itu tega melakukannya karena inner child yang dialaminya sewaktu kecil. Ibu kandungnya sering membentak dan melakukan kekerasan fisik hingga menguncinya di kamar mandi. []

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *