by

Aku Mau Mama

Aku kesal setiap kali Mama mengantarku ke sekolah. Mama selalu menurunkanku di gerbang sekolah, mencium keningku, dan berpesan agar aku belajar yang pintar. Kemudian, Mama melajukan sepeda motor menuju ke tempat kerjanya. Meninggalkanku sendiri.

Aku iri pada teman-temanku yang ditunggu mamanya selama sekolah. Mama mereka menyiapkan bekal makanan saat istirahat. Menyemangati saat kami beraktivitas di dalam kelas. Bertepuk tangan dan memberikan jempolnya bangga ketika teman-temanku berhasil mengerjakan sesuatu dengan baik.

Aku juga ingin Mama menemaniku di sini, tapi Mama selalu bilang kalau dia harus bekerja. Aku kesal! Kenapa Mama selalu ada waktu untuk mengantar Kakak mengikuti lomba di banyak tempat, tapi tak punya waktu untukku!

“Kakak pintar, juara lagi lombanya. Kamu contoh Kakak, nih. Hebat,” kata Mama sambil mengacungkan jempolnya.
Aku memutar bola mata kesal. Mama tak pernah peduli saat aku menunjukan gambar-gambarku. Katanya, untuk apa menggambar, lebih baik belajar supaya pintar seperti kakak. Kakak lagi, kakak lagi. Sebal!

Mama bilang, aku harus patuh dan mengikuti kata-katanya. Tapi, Mama tak pernah mendengarkan cerita-ceritaku. Mama bilang, aku harus jadi anak baik supaya disayang Allah. Tapi, Mama selalu sibuk bekerja. Aku tak mau Mama bekerja. Mama cukup ada di sini, menemaniku saja.

Mama bilang, aku harus jadi anak pintar seperti Kakak. Aku tak peduli. Aku tak ingin jadi anak pintar untuk membuat Mama senang. Mama saja selalu membuat aku sedih. Aku lebih suka menggambar di buku-buku sekolah daripada belajar. Menggambar rumah yang besar dan hangat dengan sebuah pohon rindang yang nyaman untuk tempat bermain.

Aku jadi kesal dan marah setiap kali Mama menghilang setelah mengantarku! Kulempar saja tas, buku, dan alat tulisku. Kuteriaki bu guru yang berusaha menenangkanku. Mama jahat! Bu guru jahat! Semuanya jahat! Kenapa aku harus jadi anak baik kalau semuanya jahat?

Baca Juga  Cerpen: Sebab Kamu Hanya Mencintainya

**
Kalau bisa memilih, aku akan menjadi ibu rumah tangga saja. Agar aku bisa menemani dan mengawal tumbuh kembang kedua anakku. Namun, aku tak punya pilihan. Keadaanlah yang mengharuskanku bekerja.

Saat mengantar kedua anakku, aku mendengar selentingan-selentingan kurang sedap yang sengaja dikeraskan agar aku tahu. Ibu-ibu wali murid yang mengantar anaknya mengomentariku yang dianggap tega meninggalkan anak untuk bekerja.

Mereka bilang, mereka tidak akan tega meninggalkan anak yang meraung-raung seperti itu. Lebih baik menunggui anak daripada mengejar rupiah. Yang mereka tidak tahu, aku adalah single mom yang mau tak mau harus menjadi tulang punggung keluarga.

Menjadi ibu bekerja tidak seenak kelihatannya. Mungkin mereka pikir, ibu bekerja memegang uang sendiri sehingga bebas membelanjakannya sesuka hati. Ibu bekerja lebih aman dari serangan stress karena bisa eksis di luar rumah. Ibu bekerja tidak perlu repot mengerjakan tugas domestik. Serahkan urusan makanan pada katering, cucian baju pada laundry dan semuanya beres. Semua hal itu tidak berlaku bagiku.

Aku harus menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anakku. Aku harus menghemat pengeluaran dengan melakukan semua pekerjaan domestik sendiri. Gajiku pas-pasan untuk kebutuhan kami bertiga dalam sebulan. Sementara mantan suamiku abai dan tak pernah mengirimkan uang untuk anak-anaknya. Dia sudah sibuk dengan keluarga barunya.

Sebelum bekerja, aku harus bangun lebih awal untuk membersihkan rumah, memasak untuk sarapan dan bekal anak-anak serta mengantar mereka ke sekolah. Saat bekerja, tuntutan dari atasan tak jarang meninggalkan benang kusut di kepalaku. Sepulang kerja, aku masih harus membereskan tugas domestik yang belum selesai. Mencuci baju dan piring kotor, setrika, dan membereskan kekacauan yang diciptakan anak-anak.

Baca Juga  SECRET ADMIRER

Menjadi tulang punggung sekaligus tulang rusuk itu berat. Mereka yang tidak tahu hanya bisa berkomentar. Ibu-ibu itu enak bisa membersamai anak-anaknya di rumah dan di sekolah. Aku iri, tapi aku harus berbesar hati menerima kondisi yang ada. Yang penting, kakak dan adik bisa berkembang dan sekolah dengan baik.

Akan tetapi, adik sering membuat ulah saat sekolah. Aku sudah berusaha menasihatinya baik-baik, tapi dia selalu melakukan perlawanan. Entah apa maunya anak itu! Harusnya dia bisa belajar dari kakaknya yang pintar dan membanggakan.

Kenapa, sih, dia tak seperti kakak yang patuh? Kenapa dia selalu membantah kata-kataku? Kenapa kerjaannya hanya menggambar tidak jelas! Dulu, saat kakak seusianya, kakak sudah pintar mengenal huruf dan belajar membaca. Adik hanya membuat ulah, bikin kesal dan malu saja.

Aku ini ibunya. Harusnya dia jadi anak yang penurut dan melakukan semua yang kukatakan. Sekecil itu dia sudah berani membantah. Katanya, dia ingin aku menungguinya di sekolah, seperti teman-temannya yang lain. Dia tidak paham kondisinya kalau aku memang harus bekerja. Argh, aku pusing. Kepalaku berdentum-dentum seperti ditusuk ribuan jarum.

**
Dia selalu menangis setiap kali mamanya pergi setelah mengantarkannya di depan gerbang sekolah. Kadang, dia gulung-gulung di teras kelas. Di lain waktu, dia akan melempar barang-barang yang ada di dekatnya sembari mengumpat. Saya pernah kena timpuk sepatunya. Dia bahkan berani mengata-ngatai saya dengan sebutan yang kasar.

“Mama ….” rengeknya sembari berpegangan pada pagar besi layaknya tawanan.

Saya menghampirinya. “Mamanya ke mana, sih?”

“Kerja.” Dia masih terisak.

“Mama kerja buat apa?”

“Nyari uang, buat beli mainan.”

“Nah, kalau mamanya nggak kerja, mama nggak bisa beli mainan buat kamu, dong.”
Dia terdiam.

Baca Juga  Ujung Tanduk

“Masuk, yuk, Mas. Hari ini bu guru punya per mainan seru, loh,” bujukku sembari memasang wajah antusias.

Namun, dia hanya melirik sekilas dan kembali menatap lurus jalanan depan kelas. Berkali-kali memanggil mamanya. Kasihan. Saya dan guru-guru yang lain sudah berusaha membujuknya. Namun, dia tetap bergeming di tempat. Tak ada yang bisa kami lakukan lagi setelah itu. Ada puluhan murid lain yang menunggu di dalam kelas.

Jadi, yang bisa kami lakukan adalah membiarkan anak itu melakukan apa yang dia inginkan. Saat mamanya mengantar, dia bersedia masuk kelas tapi hanya sebentar. Setelah itu, anak itu akan menggedor-gedor pintu kelas dan meminta keluar.

Kalaupun mau tinggal di dalam kelas, dia sama sekali tidak kooperatif. Dia akan asyik membuat coretan di buku-bukunya. Menggambar macam-macam. Memenuhi lembar demi lembar dengan coretan. Setidaknya itu lebih baik daripada dia mengamuk dan mengeluarkan ratusan makian kasar.

Jika diamati, gambarnya benar-benar bagus untuk anak seusianya. Dia berbakat. Akan tetapi, yang saya lihat, dia tak pernah mendapatkan apresiasi dari mamanya. Mamanya hanya akan melirik sekilas dan bergumam pendek tanpa memberikan pujian.

Mamanya lebih mengapresiasi si sulung yang lebih tua empat tahun dari si adik. Si sulung memang langganan juara cerdas cermat, olimpiade, dan semacamnya. Keduanya sama-sama belajar di sekolah ini. Kakaknya SD kelas tiga sementara adiknya di TK A. Padahal si adik juga cerdas di bidangnya. []

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *