Apapun yang ada di dunia ini pasti mengandung filosofi tersendiri termasuk filosofi kue lebaran. Dengan mempelajari filosofi yang dimaksud, masyarakat tidak akan lagi meremehkan apapun karena pasti di baliknya ada pesan-pesan yang luhur. Sekalipun itu hanya sekadar kue yang disuguhkan saat hari raya.
Perlu diketahui, serasa ada yang kurang jika hari raya tidak menyediakan kue lebaran. Luar biasanya, yang menyediakan penganan ini bukan hanya satu dua orang saja, tetapi hampir seluruh umat Islam yang merayakan hari raya terutama di Indonesia. Pertanyaannya ialah filosofi seperti apa yang dimaksud? Ini ulasannya:
1. Bermacam-Macam Tetap Satu Meja
Kue lebaran tidak hanya satu jenis tetapi banyak jenis dari yang manis sampai yang asin semuanya tersedia. Akan tetapi, sekalipun berbeda-beda penganan ini tetap dihidangkan di atas satu meja. Itu artinya, umat tidak boleh membedakan antara yang satu dengan yang lain karena semuanya adalah manusia.
Allah pun tidak melihat siapa yang kaya dan miskin, melainkan siapa yang paling bertakwa dan siapa yang ingkar. Untuk itu, perlakukan seluruh manusia dengan sama, dalam artian sama dihormati, saling menjaga kerukunan, saling tolong menolong tanpa melihat suku dan agama serta yang lain, kecuali yang berkaitan dengan akidah.
2. Bukti Kebahagiaan Umat Islam
Kue lebaran merupakan satu bukti kebahagiaan umat Islam dengan adanya hari raya lebaran. Untuk itu, resapi dan hargai kebahagiaan tersebut dengan ikut mencicipi kue yang dihidangkan sekalipun tidak tergolong minat dengan kue tersebut. Justru tuan rumah akan merasa sedih kalau kuenya tidak ada yang sama sekali mencicipinya.
Jika dibaca lebih mendalam lagi, maksud dari filosofi ini ialah berikan penghargaan dan penghormatan atas usaha orang yang sudah menyediakan kue lebaran. Membuat orang lain bahagia toh juga termasuk amal yang luar biasa besar. Maka dari itu, sekalipun hanya sedikit tetap cicipi dengan senyum merekah.
3. Hidup Itu Penuh Warna
Hidup itu penuh dinamika yang terus saja berkelindan di dalamnya, seperti kue lebaran ada yang manis, asin dan ada yang pedas. Itu artinya, kue lebaran adalah potret filosofis dari pernak-pernik kehidupan itu sendiri. Sekalipun penuh dengan dinamika, manusia tidak boleh lari darinya melainkan harus dirasakan dan dinikmati.
Seperti kue lebaran sekalipun penuh dengan berbagai rasa, tetapi si tamu harus terus mencoba mencicipi dan menikmati satu persatu. Jika tidak, si tuan rumah tentu tersinggung yang efeknya sangat parah. Salah satunya, ketika bertamu, maka ia pun tidak akan mencicipi satupun kue yang dihidangkan di depannya.
4. Poros Rindu Para Perantau
Orang yang merantau biasanya waktu yang paling ditunggu ialah hari raya karena di hari itu, mereka berkesempatan untuk pulang kampung. Tujuannya tentu ingin mencurahkan rasa rindu pada keluarga, kerabat dan tetangga. Namun jangan dilupakan juga, kadang ada perantau yang sejatinya juga rindu untuk mencicipi kue lebaran.
Tentunya, ini menjadi sensasi yang unik namun faktual karena sekalipun sedikit pasti ada perantau yang berpikiran semacam ini. Apalagi jika di daerahnya, tidak terjadi tradisi serupa. Rasa rindu yang mendalam ini mulai terpupuk beberapa saat setelah terdengar takbir hari raya.
5. Menyuarakan Kewajiban Silaturahmi
Filosofi kue lebaran yang berikutnya ialah menyuarakan kewajiban silaturahmi. Sejatinya, di dalam Islam silaturahmi adalah himbauan yang apabila dilakukan akan mendapatkan pahala. Namun ketika tiba hari raya, maka apa yang sebatas himbauan tersebut, justru bergeser akibat kebiasaan masyarakat yang memang pergi bertamu saat lebaran.
Apalagi dengan adanya kue lebaran, yang mana menjadi sungkan kalau tidak bersilaturahmi karena merasa kasihan pada masyarakat yang kadung menyediakannya. Seakan kue-kue tersebut berkata, “mari berkunjung demi mencicipi kelezatanku”. Artinya adalah, keberadaan kue lebaran juga menjadi pengikat warga agar melakukan silaturahmi ke warga yang lain pas hari raya.
6. Kelezatan Lahir dari Kerjasama yang Baik
Kue lebaran tidak asal dibuat saja tetapi juga berkelindan beberapa tradisi di dalamnya, yang salah satunya membuat kue lebaran secara berkelompok. Tekniknya sederhana, beberapa orang membeli bahan kue dengan dana dari hasil sumbangan. Lalu setelah itu bahan dimasak bersama dan hasilnya akan dibagi-bagikan dengan porsi yang seimbang.
Artinya, untuk membuat kue lebaran dibutuhkan kerjasama yang apik baik dari segi pemasangan bumbu, durasi memasak, jenis kue yang akan dibuat dan lain sebagainya. Karena kerjasama ini berjalan baik, maka otomatis kue lebaran yang dihasilkan juga lezat dan enak. Dari sini bisa ditarik konklusi kalau ingin hidup dengan nyaman maka ciptakan kerjasama sosial yang bagus.
7. Yang Awet Pasti Berkualitas
Tradisi lebaran biasanya dilakukan selama 7 hari berturut-turut dan dimulai selepas sholat Idul Fitri. Nah, dari hari pertama tersebut, kue lebaran sudah terhidang di meja-meja masyarakat dan tinggal menunggu tetangga yang akan bertamu. Artinya, kue tersebut akan bertahan di sana hingga satu minggu ke depan.
Filosofi yang bisa ditangkap di sini, ialah apapun yang tahan lama pasti berkualitas. Sama dengan kue lebaran. Jika kue yang dibuat tidak bermutu, jangankan satu minggu, tiga hari saja, kue sudah basi dan rusak. Nah, narasi ini, bisa kita sematkan pada apapun yang kita miliki di dunia ini, jika awet maka itu penanda kualitas.
Itulah filosofi kue lebaran yang lahir dari hipotesis berpikir semata. Tentunya, ini sebatas informasi yang sedikit banyak menjadi bendahara literasi di dalam pikiran. Siapa tahu juga karena filosofi ini maka kita tidak lagi membuat kue lebaran dengan asal-asalan apalagi sampai tidak membuatnya.
Comment