Bagi banyak orang, tinggal di sebuah kompleks perumahan menjadi pilihan yang menarik. Rumah-rumah dengan model yang cantik dan tertata rapi, akses jalan keluar masuk yang mudah, serta fasilitas umum yang sudah tersedia.
Dengan segala kemudahan yang bisa didapat dengan memiliki rumah di kompleks perumahan, sebagian orang tetap memilih untuk tinggal di rumah-rumah di perkampungan biasa. Mungkin karena ingin merasakan suasana kampung yang lebih guyub, dengan segala keseruan saat berinteraksi dengan tetangga sekitar, yang masih hidup dengan kekentalan budaya di kampung-kampung.
Ketika memutuskan untuk tinggal di sebuah kampung di pinggiran Jakarta, tepatnya di Depok, penulis mendapatkan banyak pengalaman menarik saat bersentuhan dengan berbagai tradisi unik masyarakat Betawi, yang sudah berjalan turun-temurun di kampung tersebut, seperti sebagai berikut,
1. Tradisi Blentukan
Pada saat seseorang akan mengadakan pesta pernikahan anak, sehari sebelum acara digelar, ada tradisi yang dilakukan oleh para tetangga dan kerabat dekat dari orang yang punya hajat. Pada hari itu, orang-orang akan berdatangan ke rumah orang tersebut dengan membawa baskom besar yang dibungkus dengan kain. Biasanya yang datang hanya keluarga dekat dan tetangga-tetangga yang akrab saja.
Tradisi membawa baskom terbungkus kain itu disebut dengan istilah blentukan. Isi dari baskom tersebut adalah beras, gula, minyak, terigu, mie instan, kopi, dan bahan-bahan makanan lainnya. Ada juga yang mengisi baskomnya dengan kue-kue seperti bolu, wajik, dodol, atau kue-kue lain yang tahan lama jika disimpan.
Maksud dari tradisi blentukan itu adalah untuk meringankan beban orang yang punya hajat, untuk persiapan membuat hidangan pesta. Para tamu akan dijamu dengan minuman dan kue-kue, yang sudah dipersiapkan oleh pemilik rumah yang akan berpesta.
Ketika pulang, baskom para tamu akan diisi dengan sebungkus nasi putih beserta lauk-lauk pelengkap seperti semur daging, urap sayuran, dan ikan asin yang digoreng dengan tepung.
Entah kenapa setiap acara blentukan selalu ada ikan asin yang digoreng tepung, mungkin karena ikan asin adalah hidangan favorit bagi masyarakat Betawi di sana. Selain nasi dan lauk, di dalam baskom juga ada beberapa potong kue basah.
Untuk membuat hidangan pengisi baskom saat blentukan tersebut, pemilik rumah sudah mulai memasak sehari sebelum acara blentukan. Banyak atau sedikitnya tamu yang datang membawa baskom, tergantung pada hubungan si pemilik rumah dengan para kerabat dan tetangga. Jika ia rajin blentukan ke rumah orang-orang lain, maka orang-orang tersebut akan membalas dengan datang ke rumahnya juga.
2. Tradisi Andilan
Tradisi yang disebut dengan andilan adalah kebiasaan, untuk mengadakan semacam tabungan untuk membeli bahan-bahan makanan untuk persiapan hari raya idul fitri. Biasanya ada orang-orang yang mengadakan andilan atau menjadi pengumpul dana. Kegiatan dimulai kira-kira sebulan setelah hari raya idul fitri.
Pengumpul dana akan mencatat siapa saja yang akan ikut andilan. Peserta harus menyerahkan uang yang besarnya bervariasi, biasanya sekitar tiga sampai lima ribu rupiah per hari dan disetor setiap minggu. Jika ada peserta yang tidak menyetor pada hari-hari tertentu, maka harus dirapel pada hari atau minggu berikutnya.
Kira-kira seminggu sebelum lebaran idul fitri, para peserta andilan akan mendapat paket bahan-bahan makanan dari pengumpul dana, yang mengadakan kegiatan tabungan atau andilan tersebut. Isi dari paketnya adalah beberapa kilogram daging segar, ayam potong, beras, minyak goreng, telur, gula pasir, terigu, kacang mentah, margarine, dan bahan-bahan makanan lainnya.
Peserta andilan bisa memesan jenis barang apa saja yang mereka inginkan. Dengan adanya tradisi unik masyarakat Betawi tersebut, maka sangat meringankan beban warga kampung yang akan memasak untuk hari raya.
3. Tradisi Saling Mengirim Makanan di Malam Takbiran
Pada malam takbiran menjelang hari raya idul fitri, para tetangga saling berkirim makanan yang ditempatkan di dalam rantang bersusun. Isi rantangnya antara lain adalah nasi putih, semur atau rendang daging, sambal goreng kentang dan hati sapi, serta sayur pindang kuning yang terbuat dari daging tetelan sapi yang dimasak dengan bumbu kuning.
Rantang-rantang bersusun tersbut akan dibawa oleh beberapa anak kecil. Penerima rantang akan membalas dengan mengisi rantang-rantang dengan berbagai makanan hasil masakannya. Setelah itu, ia akan memberikan uang jajan kepada anak-anak yang membawa rantang. Saat-saat saling bertukar rantang itu sangat dinantikan oleh anak-anak, karena mereka akan mendapatkan uang jajan dari penerima rantang.
Bagi para pendatang baru yang tinggal di kampung tersebut, biasanya cukup terkejut mendapatkan kiriman banyak makanan di malam takbiran dan bingung bagaimana harus membalas. Biasanya mereka akan membalas dengan manakan apa saja yang tersedia di rumah.
4. Tradisi Mengirim Makanan ke Masjid untuk Berbuka Puasa
Pada bulan Ramadan, semua warga di kampung tersebut mendapat bagian untuk menyumbangkan makanan atau takjil untuk berbuka puasa ke masjid dan mushola.
Bebarapa hari menjelang bulan Ramadan, warga mendapat kertas selebaran yang berisi daftar nama berikut tanggal untuk mengirim takjil ke masjid atau mushola. Biasanya, dalam sehari ada empat atau lima rumah yang bertugas mengirm takjil. Para warga yang mendapat giliran mengirim takjil di hari yang sama, biasanya akan saling berunding agar tidak mengirim jenis makanan yang sama.
5. Tradisi Beras Prelek
Tradisi beras prelek adalah kegiatan menyumbangkan beras untuk warga sekitar. Di tembok di dekat pintu masuk setiap rumah, ada sebuah gelas plastik yang disangkutkan pada paku. Gelas tersebut bentuk dan ukurannya seragam untuk setiap rumah, karena merupakan pembagian dari ketua RT. Gelas itu harus diisi dengan beras sampai penuh. Petugas dari RT akan mengambil beras-beras itu seminggu sekali.
Seluruh beras yang didapat akan dikumpulkan di rumah ketua RT. Warga boleh membeli beras prelek dengan harga separuh dari yang dijual di warung. Di rumah ketua RT, sudah ada catatan nama-nama warga kurang mampu yang mendapat jatah untuk membeli beras. Selain itu, nama-nama pembeli beras selalu digilir setiap minggunya agar setiap pembeli mendapat kesempatan yang sama.
Tradisi-tradisi unik masyarakat Betawi di daerah pinggiran Jakarta yang sudah berjalan turun-temurun itu, belum tentu akan kita temui jika tinggal di daerah perkotaan atau di kompleks-kompleks perumahan. Hal-hal seperti itu selalu membuat kangen saat kita tidak bisa mengalaminya lagi karena sudah meninggalkan tempat itu.
Tradisi Betawi yang penuh warna, budaya yang kaya akan nilai2 sosial
Semoga tidak luntur karena terbawa kemajuan zaman.